Kamis, 13 Oktober 2011

Urgensi Dai dalam Dakwah


URGENSI PERAN DAI DALAM DAKWAH ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz*


A.    Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah dan muamalah. Dengan kata lain, Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya.
Islam adalah suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena itu dalam aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam harus diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan tujuan Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.
Islam adalah agama yang memandang setiap pemeluknya sebagai Dai bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini menurut Thomas  W Arnold (1981: 1) dalam bukunya The Preacing of Islam disebabkan Islam tidak menganut sistem hierarki religius. Dengan kata lain, Islam merupakan sebuah ajaran yang bersifat universal dan holistik. Universalisasi Islam inilah yang menuntut setiap Muslim berkewajiban menyampaikan visi dan misi Islam kepada seluruh umat manusia sepanjang peradaban manusia masih eksis.
Salah satu aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang harus dipikul dan akan mengembalikan izzah Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat ijabah maupun umat dakwah. Tanpa dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berjalan.
Dakwah Islam merupakan suatu usaha yang tidak pernah mengenal batas finish, selama planet bumi ini masih didiami manusia dengan segala corak permasalahannya, maka selama itu pulalah proses dakwah menjadi bahan perbincangan yang wajib ditindaklanjuti, karena ia merupakan satu wahana spiritual bagi kelangsungan keberagamaan umat Islam yang pada diri mereka terdapat satu pedoman sarat dengan nilai dan norma sebagai doktrin yang wajib dilaksanakan (Jakfar Puteh, 2006: 100). Dakwah adalah sebuah ikhtiar dalam rangka sosialisasi ajaran Islam. Menerima atau menolak ajaran Islam yang telah didakwahkan kepadanya adalah urusan Allah, manusia sekedar berusaha semaksimal mungkin sehingga ia tidak berhak menentukan keberhasilan sebuah misi dakwah.
Di samping itu, tujuan dari dakwah itu sendiri untuk melakukan perubahan masyarakat menuju kebaikan dan keselarasan hidup serta transformasi kontinyu untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, urgensitas dakwah harus tetap ditumbuhkembangkan seiring sejalan dengan modernisasi.
Keterbukaan terhadap arus modernisasi yang menyangkut perkembangan peradaban dalam era globalisasi ini memberikan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi harus diantisipasi oleh dunia dakwah sebagai agen penyebar dan pembangunan umat. Hal ini selaras dengan statemen Machendrawaty (2001: 79)  yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama wahyu selalu berhadapan dengan zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, umat Islam selalu ditantang bagaimana mensintesakan keabadian wahyu dengan kesementaraan zaman. Dengan kata lain, dakwah harus merespon kondisi perkembangan luar dan tentunya harus beradaptasi terhadap sesuatu yang baru.
Dakwah Islam berlangsung pada semua lapisan masyarakat, baik masyarakat yang peradabannya telah maju maupun masyarakat yang sedang mengalami transisi, pribumi maupun non pribumi. Dakwah harus dimaknai sebagai jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan umat. Hal ini sesuai dengan hakikat dakwah yang selalu terpanggil untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh umat manusia.
Misi dakwah dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu mengajak umat manusia ke dalam sistem Islam dengan landasan berpikir yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Permasalahan yang dihadapi oleh umat selalu berbeda baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun demikian, permasalahan umat tersebut perlu diidentifikasi dan dicarikan alternatif solusi yang relevan dan strategis melalui pendekatan-pendekatan dakwah yang sistematis, smart, dan profesional, atau perlu adanya ideologi gerakan dakwah meminjam bahasa Munir Mulkan (1996: 52).

B.     Reposisi Peran Dai dalam Dakwah

Manusia yang hidup sesuai dengan fitrahnya akan selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih baik, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah mau pun bagi sesamanya. Di sinilah dakwah akan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan kemuliaan manusia. Oleh karena itu, dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tingkat dinamisasi kehidupan global yang semakin tinggi dan kompetitif telah menggiring umat manusia untuk memandang persoalan hidup secara pragmatis, logis, serba instans, matematis. Hal ini berimplikasi pada lemahnya semangat transendental dan memudarkan relasi-relasi sosial sehingga pada akhirnya lahirlah berbagai kenyataan sosial yang paradoksal dengan cita ideal Islam.
Menurut K.H. MA Sahal Mahfudz (http://pcinu-mesir.tripod.com),  dalam tulisannya yang berjudul Dakwah Yang Partispatif, menyebutkan bahwa dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islami tidak lagi manjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islami dalam masyarakat dan berbangsa mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala akibat kemajuan dunia usaha yang memacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan mengganggu keimanan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi srta dampak hasil pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekuler, sementara di sisi lain justru lebih bersifat agamis, bahkan senderung sufistik atau fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga kelompok yang sering disebut para-normal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yangmengalami keputusasaan.
Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan mereka. Pemahaman mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang astu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya aqidah, syari'ah, akhlak, mu'asyarah, dan lain sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalen dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di lain pihak. Hal ini senderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari keduanya sering mengundang kesalahpahaman.
Kegiatan dakwa Islamiyah tidak bisa lepas dari dai sebagai orator dakwah, di mana kegiatan dakwah itu sendiri merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (da'i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah sehingga keduanya sama-sama menuntut porsi materi,metode dan media tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil apabila ke lima unsur di atas berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan “pengajian” di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan massa luas dan heterogen yang menyambutnya dengan tepukantangan menggema di tengah-tengah lapangan. Namun lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari sisi pengamalan dan wawasan agamanya. Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan dakwah hana dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum pengajian dan hebatnya mubaligh yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diimbangi dengan evaluasi massa pengunjungnya. Apakah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wawasan keberagamaannya? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan kagum dan puas terhadap pembawaan mubaligh?
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.
Melihat realitas di atas, maka diperlukan paradigma baru dalam melakukan dakwah Islam yang dijalankan secara sistematis dan profesional melalui langkah-langkah yang strategis. Oleh karena itu, profesionalisme, langkah strategis dan pro aktif senantiasa dibumikan, di samping model dakwah konvensional, sporadis, dan reaktif. Hal ini dikarenakan mad’u semakin kritis dan tantangan dunia global semakin kompleks sehingga strategi dakwah yang mantap insya Allah akan mampu bersaing di tengah bursa informasi yang kompetitif.
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah menurut Usman Jasad (2004: 38-39), harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif. Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.
Aktivitas dakwah dipandang sebagai kegiatan yang memerlukan sebuah keahlian khusus. Oleh karena itu, seorang juru dakwah seharusnya memiliki kualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Mengingat suatu skill memerlukan penguasaan pengetahuan, maka dai atau muballigh harus memiliki kualifikasi dan persyaratan akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah (Asep Muhyiddin, 2002: 34). Mulkan (1996: 237) bahkan mengatakan bahwa juru dakwah harus memiliki dua kompetensi, yaitu kompetensi substansif dan kompetensi metodologis. Sinergitas antara pribadi dan kelompok mengarah pada lahirnya sebuah perubahan yang lebih baik dan mulia. Perubahan tersebut menyangkut sikap hidup dan perilaku manusia secara individu maupun menyangkut tata kehidupan masyarakat agar senantiasa diliputi rasa kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian, baik lahir maupun batin di dunia dan di akherat dalam semua aspek kehidupan.
Dakwah itu sendiri sesungguhnya adalah usaha untuk melakukan perbaikan guna meningkatkan kualitas diri manusia yang sebagaimana dikehendaki oleh Allah melalui ajaran-ajaran-Nya yang telah disampaikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini menurut A. Hasjmy (1994: 3) karena dakwah memberi pengertian kepada umat manusia agar mengambil segala ajaran Allah yang  terkandung dalam al-Qur’an untuk menjadi jalan hidupnya.
Kecerdasan seorang dai dalam memilih media atau sarana yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah. Media dakwah berguna untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan kemajuan serta kecanggihan teknologi. Ketertinggalan umat Islam dan sifat tertutup dari dunia luar, sedikit banyak menjadi salah satu sebab ketidakberhasilan dakwah.
Sinyalemen di atas sejalan dengan statemen Quraish Shihab (1994: 194) yang menyatakan bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat sekarang adalah masyarakat majemuk yang berkembang dengan berbagai kebutuhan praktis sehingga kecanggihan teknologi menjadi idaman dalam kehidupannya.
Seorang dai harus dapat mengajak kepada orang lain secara perorangan dengan tujuan memindahkan mad’u kepada keadaan yang lebih baik dan diridlai Allah (Mahmud, 1992: 29). Fungsi al-Qur’an sebagai furqan harus ditanamkan kepada setiap muslim. Petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur’an harus dijadikan sebagai panduan moral untuk membedakan antara yang haq dan bathil.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, sekaligus mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict  (1973: 29) dalam Theories of Man and Culture, di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.

Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ                                     

Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.


C.    Kesimpulan

Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, dan baik secara individu, kelompok atau berbentuk  organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan da’i sebagai unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa da’i bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur da’i dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka seorang dai memiliki kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan erilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah (da'i) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah, mau'dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.
Dakwah Islamiyah menuntut adanya kemampuan seorang dai untuk meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen, kebebasan-keterbatasan dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara implementatif mampu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya
Kompetensi mubaligh atau mubalighot adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan dan perilaku serta ketrampilan tertentu yang harus ada pada diri mereka agar mereka dapat melaksanakan fungsinya dengan memadai. Dengan demikian, kompetensi bagi seorang dai adalah suatu penggambaran ideal dan sekaligus sebagai target yang harus mereka penuhi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i meliputi kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif  berupa kondisi-kondisi mubaligh dalam dimensi idealnya atau kompetensi dasar bagi mubaligh atau da’i. Sedangkan kompetensi metodologis adalah sejumlah kemampuan yang dituntut ada pada diri seorang mubaligh atau mubalighot yang terkait dengan masalah perencanaan dan metodologi dakwah. Dengan ungkapan lain, kompetensi metodologis ialah kemampuan yang ada pada diri mubaligh sehingga ia: (a) mampu membuat perencanaan dakwah (persiapan kegiatan dakwah) yang akan dilakukan dengan baik, dan (b) sekaligus mampu melaksanakan perencanaan tersebut..
* Tarqum Aziz, S.H.I. adalah Alumni Program Studi Muamalah Jurusan Syari’ah dan Sekjend BEM Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto (2000-2001).


DAFTAR PUSTAKA
An-Nasafi, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Da’wah Islam (The Preacing of Islam). Cet. Kedua. Alih Bahasa A. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya.

Azhar, Muhammad. 2003. Beberapa Catatan tentang Problematika Dakwah”, Suara Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.

Faqih, Aunur Rahim. 2006. Esensi, Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.

Hasjmy, A. 1994. Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.

Hatch, Elvin. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.

Jasad, Usman. 2004.Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89, 1-15 Mei 2004.

KH. MA Sahal Mahfudz, “Dakwah Yang Partispatif”, http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/011.htm. Donwload pada tanggal 21 Maret 2009.

Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei. 2001. Pengembangan Masyarakat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mahmud, Ali Abdul Halim. 1992. Dakwah Fardhiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim. Jakarta: Gema Insani Press.

Muhyiddin, Asep. 2002. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Munir Mulkan, Abdul. 1996. Ideologisasi Gerakan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.

Puteh, Jakfar. 2006. Dakwah Tekstual dan Kontekstual. Yogyakarta: Group.

Shihab, Quraish. 1994.  Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar