Kamis, 13 Oktober 2011

Reposisi Guru Profesional


REPOSISI GURU PROFESIONAL DALAM PEMBELAJARAN SISWA
Oleh: Wenny Nurul ‘Aini*
 A.    Latar Belakang Masalah 

Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan belahar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut.
Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Di antara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positif-konstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru.
Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada input-proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok”sedangkan outuput terkait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Dataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan sitasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu, atau sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan.
Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu (Kuntoro, 1985: 34). Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa penddikan bisa juga “berbahaya” bagi kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Pembelengguan pendidikan tersebut agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, maka memamng terdapat gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif sehingga mengakibatkan lemahnya daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah. Seorang guru juga tidak jarang melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa ketika berada dalam suatu kelas. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Namun apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu sehingga teman-temannya di sekitarnya tertawa sedangkan sang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu” (Deporter dan Hernacki, 2002: 24). Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai mengurangi resiko sedikit demi sedikit (Paulo Freire, 2002: 28). Hal ini dikarenakan dia merasa malu dan dipermalukan dihadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran statemen tersebut. Komentar negatif selama ini seringkali  diterima anak bukan saja di sekolah,melainka juga di rumah atau di lingkungan masyarakat.
Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu tersebut tidak lepas begitu saja karena akibat yang demikian tidak pernah disadari oleh guru dominatif. Mereka baru sadar muncul gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.
Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya Freir mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang nyata secara kritis” (Arifin, 2003: 105). Meminjam bahasa Tilaar, dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek (2000: 137). Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi).
Berpijak dari urgensi peran dan fungsi guru tersebut, maka penulis tertarik untuk mencoba mengangkatnya dalam sebuah judul makalah “Urgensi guru profesional dalam pembelajaran siswa”. Ketertarikan penulis terhadap judul di atas disebabkan karena dua faktor. Pertama, guru profesional merupakan salah satu komponen yang memiliki posisi yang menentukan keberhasil proses pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar. Kedua, fungsi utama guru profesional adalah merancang, mengelola, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran yang telah digunakannya. 

B.     Urgensi guru profesional dalam pembelajaran siswa
Istilah profesional berasal dari istilah bahasa Inggris profession, sebagaimana disebutkan dalam The Grolier International Dictionary  (1981: 1044-1045) menyatakan:
Proffession is an occupation usually involving relatively long and specialized preparation on the level of highter education and governed by its own code of ethic; proffession is one who has acquired a learned skill and conforms to ethical standar of the proffession in which he practice to skill (Profesi adalah suatu penempatan yang pada umumnya menyertakan secara relatif merindukan dan persiapan khusus dari ketinggian pendidikan dan diatur oleh kode tersendiri tentang etika; profesi adalah seseorang yang telah memperoleh ketrampilan suatu pembelajaran dan menepati standar etis dari profesi di mana ia mempraktekkan Ketrampilan tersebut” (Syafruddin Nurdin, 2005: 13).

Berpijak dari pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa professional adalah suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus.  Jadi para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu. Dengan kata lain, seseorang dapat dikatakan proffesional apabila telah mempunyai pengetahuan, keahlian dan persiapan akademik.
Konsep itulah yang akan mengantarkan tugas guru menjadi lebih luas lagi dari sekedar proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik, karena di dalamnya terkandung finsi-funsi produksi. Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figu guru menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para siswanya sendiri. Di sini predikat guru sebagai pendidik berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya.
Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2:
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabidaian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi (UU Sisdiknas, 2003: 20).

Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oeh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarkhi melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut.
Ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap guru dinamis sebagai seorang professional. Seorang profesional adalah seorang yang terus menerus berkembang atau trainable. Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini, pendidikan guru harus mampu membeklai kemampuan kreativitas, rasionalitas, ketrlatihan memecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Semua bekal ini dimaksudkan mewujudkan guru yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Fatah Syukur, keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik (http://citizennews.suaramerdeka.com). Sebaliknya, dari sisi siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan: (1) belajar merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan (2) ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh pengalaman-pengalaman baru baik pengetahuan maupun ketrampilan (http://sman3singkawang.com). Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak hanya satu pihak tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apa-apa. Jadi gerakan dua arah dalam mensukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu sebagai gerakan sinergis.
Kinerja guru lebih diacu pada aspek mutu, baik dari sudut pandang kepemimpinan maupun aspek tekhnis-didaktis. Aspek kepemimpinan akan terlihat pada penampilan guru yang berperan sebagai pemimpin siswa dan sesamanya, aspek teknis-dedaktis adalah di mana guru akan berperan sebagai fasilitator dan nara sumber yang siap memberi konsultasi terarah pada siswanya (Samana, 1994: 23).
Guru adalah sebuah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu institusi maupun perorangan yang menyangkut seluruh aktivitas dalam tanggung jawab untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan memandu peserta didik dalam rangka menggiring perkembangan peserta didik kearah kedewasaan mental-spiritual maupun fisik-biologis. Kinerja seorang guru menyangkut semua kegiatan atau tingkah laku yang dialami guru, jawaban yang mereka buat, untuk memberi hasil atau tujuan. Kinerja dapat ditinjau dari berbagai aspek, baik dari sudut guru maupun siswa. Dari sudut siswa kinerja guru bertujuan untuk menimbulkan respon positif dari bakat dan minat seorang siswa yang akan dikembangkan oleh siswa tersebut melalui proses pembelajaran. Dari sudut guru kinerja guru secara spesifik bertujuan mengharuskan para guru membuat keputusan khusus dimana tujuan pengajaran dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tingkah laku yang kemudian ditransfer kepada peserta didik.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa guru yang profesional merupakan salah satu indikator penting dari sekolah yang berkualitas. Guru yang profesional akan sangat membantu proses pencapaian visi-misi sekolah. Mengingat strategisnya peran yang dimiliki oleh seorang guru, usaha-usaha untuk mengenali dan mengembangkan profesionalisme guru menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Gilbert H. Hunt seperti dikutip Irwan Nuryana Kurniawan (http://kurniawan.staff.uii.ac.id) menyatakan bahwa guru proffesional harus memenuhi tujuh kriteria, yaitu:
1.                              sifat positif dalam membimbing siswa
2.                              pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina
3.                              mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap
4.                              mampu menguasai metodologi pembelajaran
5.                              mampu memberikan harapan riil terhadap siswa
6.                              mampu merekasi kebutuhan siswa
7.                              mampu menguasi manajemen kelas.
Kohensif dengan Gilbert, Uzer Usman (2008: 15) menyatakan bahwa untuk menjadi seorang guru profesional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.       Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
2.       Menemukan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
3.       menuntut adanya tingkat pendidikan keguruan yang memadai.
4.       Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan.
5.       Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
6.       Memiliki kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
7.       Memiliki klien/objek layanan ysng tetap, seperti guru dengan muridnya.
8.       Diakui oleh masyarakat, karena memang jasanya perlu dimasyarakatkan.

Di samping itu, ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar (2008: 15).
Tugas utama guru adalah membelajarkan siswa, yaitu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya (kognitif, afektif, dan konatif) dapat berkembang dengan maksimal. Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran, akan terlatih dan terbentuk kompetensi yaitu kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang sifatnya positif yang pada akhirnya akan membentuk life skill sebagai bekal hidup dan penghidupannya. Agar hal tersebut di atas dapat terwujud, guru semestinya mengetahui bagaimana cara siswa belajar dan menguasai berbagai cara membelajarkan siswa. Inilah yang menjadi eksistensi guru profesional dibutuhkan untuk melakukan sebuah terobosan baru bagi proses pembelajaran siswa.
Statemen di atas selaras dengan ungkapan Syaikh Az-Zarnujiy (t.t.: 13) dalam kitabnya Ta'limul Muta'alim yang menyatakan:
وَأَمَّا اخْتِيَا رُاْلأُسْتَاذِ، فَيَنْبَغِى أَنْ يَخْتَارَاْلأَ عْلَمَ وَاْلأَوْرَعَ وَاْلأَسَنَّ، كَامَا اخْتَارَأَبُوْ حَنِيْفَةَ حِيْنَئِذٍ حَمَّادَبْنَ أَبِى سُلَيْمَانَ بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفَكُّرِ

Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih 'alim, waro' dan juga lebih tua usianya sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Tuan Hammad Bin Abu Sulaiman.

Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru profesional,  al-Ghazali menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
a.                                                                                                        Guru adalah orangtua kedua di depan murid
b.                                                                                                       Guru sebagai pewaris ilmu nabi
c.                                                                                                        Guru sebagai penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
d.                                                                                                       Guru sebagai sentral figur bagi murid
e.                                                                                                        Guru sebagai motivator bagi murid
f.        Guru sebagai seorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
g.                                                                                                       Guru sebagai teladan bagi murid (Abidin Ibnu Rusn, 1998: 67-75)

Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat penindasan guru akan membuat siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdayakan potensi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri. Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat” (Djohar. 1999: 17). tangung jawab guru yang menempatkan diri teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa (Mulyasa, 2002: 187). Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis ,dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Terkait dengan pernyataan di atas, seorang ahli pendidikan bernama Cooper sebagimana dikutip Nana Sudjana (2000: 68) mengemukakan empat faktor yang harus dimiliki oleh guru dalam meningkatkan profesionalitasnya, yakni:
1.                                                                   Mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia.
2.                                                                   Mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya.
3.       Mempunyai sikap yang tepat tentang dirinya sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya.
4.       Mempunyai keterampilan tekhnik mengajar.

Menurut hemat penulis, bila profesionalitas guru yang memiliki indikator seperti di atas direalisasikan di dalam interaksi belajar mengajar, maka siswa akan aktif mengikuti interaksi belajar mengajar, menyelesaikan tugas–tugas dengan penuh kesadaran, mudah memahami materi yang diajarkan oleh guru. Pada kondisi yang seperti itu, maka kesuksesan belajar dapat tercapai secara maksimal.
  
C.    Kesimpulan
Selama ini model pembelajaran dalam pendidikan masih seperti ungkapan paul Freire, pendidikan”gaya bank” yang bersifat penindasan pada siswa. Keadaan ini harus diubah menjadi pendidikan (Pembelajaran) yang demokratis yang membawa misi pembebasan bagi mereka. Untuk mewujudkan model pendidikan yang emansipatoris itu dibutuhkan guru yang profesional. Profesional guru tercermin dalam berbagai keahlian yang dibutuhkan pembelajaran baik terkaut dengan bidang keilmuan yang diajarkan,”kepribadian”, metodologi, pembelajaran, maupun psikologi belajar.
Profesionalisme menjadi taruhan ketika mengahadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari siswa; tidak sekedar kemampuan guru mengauasi pelajaran semata tetapi juga kemampua lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional.
Untuk itu, guru harus dapat memahami psikologi perkembangan, untuk mengetahui keadaan psikis anak sesuai dengan perkembangannya. Pengembangan kurikulum, untuk mengetahui alur pelajaran yang harus diajarkan. Teknologi pengajaran, untuk membantu siswa dalam memudahkan memahami pelajaran dan sebagainya. Materi-materi itulah yang diajarkan dalam lembaga pendidikan keguruan dan program akta.
As-Syaibani (1979: 10). bahkan menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Hal ini selaras dengan statemen yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang komprehensif sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim yang berbunyi :
فَالتَّرْ بِيَةُ بِاْلمَعْنَ اْلعَامِ هِىَ كُلُّ مُؤَ ثِّرٍ فىِ تَكْوِيْنِ الشَخْصِ الجَسْمَانِىِّ وَاْلجَسْمَانىِ وَاْلخُلُقِىَّ مِنْ حَيْنَ وِلاَدَتِهِ إِلىَ مَوْتِهِ, وَتَشْمِلُ جَمِيْعُ الْعَوَامِلِ سَوَاءٌ أَكَانَتْ مَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْ بِيَةِ وَاْلمَتْرِلِيَّةِ وَاْلمَدْرَسِيَّةِ, اَمْ غَيْرُمَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْبِيَةِ الَّتِى تَجِيْئُ عَرْضًاوَمَنْ تَأ ثِيْرِ البِيْئَةِ الطَبِيْعِيَّةَ وَاْلاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِذَلِكَ        

Pendidikan secara umum adalah setiap pengaruh dalam menjadikan seseorang secara badaniyah, akliyah (akhlak), semenjak lahir sampai pendidikan di rumah dan di sekolah, ataupun tidak seperti tujuan pendidikan yang datang karena pengaruh tabiat (sifat) serta pengaruh masyarakat dan lain sebagainya (Muhammad Qasim Bakr, 1978: 7).

Melihat kenyataan seperti itu, maka dalam pendidikan modern saat ini redefinisi peran guru penting dilakukan. Profesionalisme yang diagungkan oleh modernitas justru menjerumuskan guru keluar jalur fungsionalnya. Guru hanya menjadi seorang cerdik pandai yang berurusan dengan materi. Tidak ada pengabdian hakiki pada ilmu dan pendidikan. Di luar kelas, secara personal guru bisa berganti identitas di hadapan murid-muridnya.
Guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya. Oleh karena itu sudah semestinya ia harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar, serta menguasai landasan-landasan kependidikan. Selain itu, guru yang profesional tidak cukup sebatas menjadi anggota organisasi profesi, katakanlah anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), melainkan harus menjadi profesional dalam arti yang sesungguhnya (to be profesional).
* Wenny Nurul ‘Aini, S. Pd. I adalah alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto dan Guru Pendidikan Agama Islam SMP Islam al-Irsyad Gandrungmangu, Cilacap.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

As-Syaibani, Omar Muhammad At-Toumi. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Depdiknas. 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Deporter, Bobbi dan Mieke Hernachi. 2002. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Djohar. 2003. Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: LESFI.

Freire, Paulo. 2002. Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

H. A. R. Tilaar. 2000. Paradigma Baru PendidikanNasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Ibnu Rusn, Abidin. 1998. Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kurniawan, Irwan Nuryana. “Mengenali Profesionalisme  Guru. dalam http://kurniawan.staff.uii.ac.id. Donwload pada tanggal 28 Desember 2008 pukul 22.10.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandug: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional. Cet. ke-7. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Qasim Bakr. Muhammad 1978. al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.

Rudansyah, Dedy. Profesionalisme  Seorang Guru. dalam http://sman3singkawang.com. Donwload pada tanggal 28 Desember 2008 pukul 21.55.

Samana A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius.

Sodiq, A Kuntoro. 1985. Dimensi Manusia dalam Pemikiran Indonesia. Yogyakarta: CV Bur Cahaya.
Sudjana, Nana. 2000. Dasar-dasar proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Syafruddin Nurdin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Cet. ke-3. Jakarta: Quantum Teaching.

Syaikh Az-Zarnujiy. 1978. Ta'limul Muta'alim. Semarang: Pustaka Utama.

Syukur, Fatah. “Profesionalisme Guru, Sebuah Identitas”. dalam http://citizennews.suaramerdeka.com. Donwload pada tanggal 28 Desember 2008 pukul 21.25.

Uzer Usman, Moh. 2008. Menjadi Guru Profesional. Cet. ke-22. Bandung: Remaja Rosdakarya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar