Kamis, 13 Oktober 2011

Tata Tertib Sekolah


TATA TERTIB SEKOLAH SEBAGAI PENGENDALI PERILAKU SISWA
Oleh: Wenny Nurul ‘Aini*

A.    Latar Belakang Masalah

Ketertiban siswa sering kali kita dengar sebagai suatu masalah di sebuah sekolah, apalagi pada jenjang sekolah menengah yang siswa- siswanya beranjak dewasa dan mulai belajar mengenal jati diri pribadinya.dimana siswa sering melakukan pelanggaran di sekolah. Kondisi yang tidak menguntungkan dan cukup memprihatinkan ini, sekolah secara umumnya membentuk Tim Ketertiban Sekolah agar sekolah menjadi lebih baik. Namun sering kali tidak efektif dan mengalami banyak halangan serta hambatan dilapangan. Selain harus mengeluarkan dana tambahan dengan membentuk tim ketertiban, namun sering kali tidak efektif karena tidak didukung oleh guru-guru yang lainnya dan keterbatasan guru serta kepeduliannya kurang terhadap siswa.
Siswa secara psikologis, pada umur 12-18 tahun atau usia anak SMA di mana, menurut Dimjati perkembangan anak digolongkan sebagai remaja atau pubertas merupakan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa (2000: 95). Kondisi seperti ini menjadikan seorang mempunyai keinginan baru dan membutuhkan sarana aktivitas yang lebih untuk menumpahkan segala kegiatannya sehingga dengan minimnya sarana dan prasarana mudah membuat siswa akhirnya dapat menimbulkan permasalahannya dari ketertibannya sehingga menjadi masalah ketertiban sekolah semakin meningkat.
Sekolah merupakan salah satu tempat untuk membimbing, mendidik, mengarahkan dan membentuk pribadi seseorang berperilaku yang baik. Inilah hal yang paling rumit dilakukan karena anak itu berasal dari latar belakang kehidupan yang berbeda-beda maka sekolah membentuk suatu alat untuk mengatur dan membatasi bagi anak-anak untuk berperilaku yang mengarah pada pendisiplinan terhadap norma-norma yang berlaku di sekolah dan sebagai alat pengendalinya adalah penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Tiap-tiap sekolah menggunakan reward dan punishment yang berbentuk tata tertib sekolah. Lahirnya tata tertib ini dikarenakan dapat memberikan motivasi kepada siswa dalam pembentukan perilaku siswa.
Tata tertib apa saja yang harus dibuat sekolah itu sudah barang tentu amat ditentukan oleh kepentingan sekolah. Tata tertib siswa sangat penting sebagai aturan yang harus dipatuhi oleh peserta didik, bahkan setiap kelas dapat membuat tata tertib sendiri untuk kelasnya masing-masing. Tata tertib untuk unit-unit kegiatan di sekolah itu, seperti perpustakaan sekolah, laboratorium, fasilitas olah raga, kantin sekolah, dan sebagainya. Tata tertib untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya juga sangat perlu diadakan sebagai aturan yang harus diikuti oleh mereka dengan penuh kesadaran, bukan karena tekanan atau paksaan.

B.     Tata tertib sekolah sebagai upaya pengendali perilaku siswa

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, 1989: 19). Artinya upaya manusia dalam mencapai kedewasaan hidup. Langveld bahkan menyebut pendidikan sebagai pemberian bimbingan dan bantuan rohani bagi yang masih membutuhkan (Sutari, 1984: 25) Dengan kata lain pendidikan berfungsi untuk pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Pendidikan juga dapat dikatakan sebagai suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian seseorang, termasuk di dalamnya karakter seorang anak.
Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah.
Salah satu kebijakan sekolah disektor pendidikan yang mendukung pendidikan sepanjang berkarkarter anak didik adalah diberlakunya tata tertib sekolah. Sebagai wujud demokratisasi dalam dunia pendidikan, maka tata tertib sekolah tidak dapat ditentukan oleh kepala sekolah sendiri, atau bahkan oleh dinas pendidikan semata-mata. Tata tertib sekolah pada hakikatnya dibuat dari, oleh, dan untuk warga sekolah. Kalaupun konsep tata tertib itu telah dibuat oleh kepala sekolah atau dinas pendidikan, maka konsep itu harus mendapatkan persetujuan dari semua pemangku kepentingan di sekolah. Komite Sekolah akan lebih baik jika dimintai pendapatnya tentang tata tertib sekolah tersebut. Guru dan siswa harus dimintai pendapatnya tentang tata tertib tersebut. Orangtua pun harus memperoleh penjelasan secara terbuka tentang tata tertib sekolah itu.
Tata tertib sekolah dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dianut sekolah dan masyarakat sekitar, yang meliputi: nilai ketakwaan, sopan santun pergaulan, kedisiplinan dan ketertiban, kebersihan, kesehatan dan kerapihan, keamanan, dan nilai-nilai yang mendukung kegiatan belajar yang efektif. Tata tertib sekolah lahir sebagai rambu-rambu bagi warga sekolah dalam bersikap, bertingkah laku, berucap, bertindak, dan melaksanakan kegiatan sehari-hari di sekolah dalam rangka menciptakan iklim dan kultur sekolah yang dapat menunjang kegiatan pembelajaran yang efektif.
Menurut Suparlan menyatakan bahwa tata tertib sekolah dapat menciptakan mengembangkan pola sikap dan perilaku yang lebih disiplin dan produktif. (http://www.suparlan.com). Dengan tata tertib sekolah, warga sekolah diharapkan dapat Lahirnya tata tertib tersebut membuat warga sekolah memiliki pedoman dan acuan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan sekolah. Hal ini juga selaras dengan statemen Reynolds (2001: 39) yang berbunyi:
School effectiveness research has long pointed to the importance of school-wide behavior policies in creating the academically oriented, high-achieving school It can often be fruitful to involve students in the making of rules in order to encourage a sense of ownership and shared responsibility and shared responsibility over them and to involved (especially older) students in policing rules and procedures as well. (Tata tertib sekolah dapat menciptakan disiplin dan orientasi akadmis warga sekolah pada khususnya, dan meningkatkan capaian sekolah pada umumnya. Dengan tata tertib sekolah, warga sekolah diharapkan dapat mengembangkan pola sikap dan perilaku yang lebih disiplin dan produktif. Dengan tata tertib tersebut, warga sekolah memiliki pedoman dan acuan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan sekolah).

Tata tertib yang dengan jumlah yang terbatas tetapi dapat dipahami dengan baik dan dapat mendorong warga sekolah akan lebih efektif daripada tata tertib yang rinci dan dengan jumlah dan prosedur yang sangat banyak dan karena itu sulit dilaksanakan. Kembali harus dijelaskan bahwa tata tertib sekolah bukanlah merupakan alat untuk membelenggu kebebasan warga sekolah.
Tata tertib lebih merupakan petunjuk agar warga sekolah dapat melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik, bekerja secara tertib, tidak mengganggu kepentingan orang lain, dan berlaku santun. Tata tertib akan lebih membuat rasa senang seseorang jika dibuat tidak dalam kalimat negatif atau menggunakan kata-kata tidak. Oleh karena itu, menurut Sulaiman (2001: 22) sangat perlu adanya sejumlah kriteria untuk siswa sebagai subyek dan sejumlah agenda dengan pola yang sistematis. Dengan demikian, maka menurut hemat penulis anak akan dapat melihat tata tertib sebagai perangkat aturan yang akan ikut dalam pembentukan karakter dirinya.
Tata tertib sekolah berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan serta membentuk karakter anak secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan. Oleh karena itu, menurut Dimas (2007: 107), anak harus dilibatkan dalam pembuatan tata tertib sehingga ia menadapatkan motivasi untuk terlibat dalam membuat aturan tentang perilakunya atau aturan untuk meluruskan perilakunya.
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Menurut Icek Ajzen dan Martin Fishbein (Azwar, 2006: 11) dalam teori tindakan beralasan mengemukakan bahwa perilaku mengarah pada tiga persolan yaitu:
1.       Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu.
2.       Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma subyektif, yaitu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat.
3.       Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subyektif membentuk suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa sikap individu terhadap perilaku merupakan aspek personal dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melaksanakan atau untuk tidak melakukan perilaku yang bersangkutan. Dengan kata lain, seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Begitu pula, seorang siswa yang merupakan bagi dari kelompok manusia akan melakukan hal yang sama. Baik buruk suatu perbuatan diakibatkan oleh sebab yang melingkupinya. Siswa yang sering membuat masalah membuat institusi sekolah membuat seperangkat aturan yang berupa tata tertib sekolah.
Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, menurut Akhmad Sudrajat harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku. Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para siswanya (http://akhmadsudrajat.wordpress.com). Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling. Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada.
Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Layanan bimbingan karir dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1.                              Pemahaman diri, bakat, kemampuan, minat, ketrampilan, dan ciri-ciri pribadi.
2.       Pemahaman lingkungan yang mencakup lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat serta berbagai kondisinya.
3.       Cara-cara mengatasi masalah dan hambatan dalam perencanaan dan pemilihan karir sehubungan dengan kemungkinan keterbatasan lingkungan dan keadaan diri.
4.       Perencanaan masa depan.
5.       Usaha penyaluran, penempatan, pengaturan, dan penyesuaian (Sunarto, 2006: 205).
Suatu bencana besar ketika manusia mengelola pendidikan hanya dilihat dari kacamata pribadi, orang yang demikain ini termasuk melemahkan generasi mendatang. Begitui pula bagi orang yang mengembangkan pendidikan hanya mengandalkan kekuasaan atau power semata. Guru adalah manajer kelas yang bertanggung jawab dalam merencanakan, mengorganisasikan, memotivasi, membimbing, mengawasi dan mengevaluasi proses ataupun hasil belajar. Tanpa program yang sistematis penyelenggaraan tata tertib sekolah bisa membahayakan anak.
Penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Hal ini selaras dengan statemen yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang komprehensif sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim  (tt: 7) yang berbunyi :
فَالتَّرْ بِيَةُ بِاْلمَعْنَ اْلعَامِ هِىَ كُلُّ مُؤَ ثِّرٍ فىِ تَكْوِيْنِ الشَخْصِ الجَسْمَانِىِّ وَاْلجَسْمَانىِ وَاْلخُلُقِىَّ مِنْ حَيْنَ وِلاَدَتِهِ إِلىَ مَوْتِهِ, وَتَشْمِلُ جَمِيْعُ الْعَوَامِلِ سَوَاءٌ أَكَانَتْ مَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْ بِيَةِ وَاْلمَتْرِلِيَّةِ وَاْلمَدْرَسِيَّةِ, اَمْ غَيْرُمَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْبِيَةِ الَّتِى تَجِيْئُ عَرْضًاوَمَنْ تَأ ثِيْرِ البِيْئَةِ الطَبِيْعِيَّةَ وَاْلاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِذَلِكَ       

Pendidikan secara umum adalah setiap pengaruh dalam menjadikan seseorang secara badaniyah, akliyah (akhlak), semenjak lahir sampai pendidikan di rumah dan di sekolah, ataupun tidak seperti tujuan pendidikan yang datang karena pengaruh tabiat (sifat) serta pengaruh masyarakat dan lain sebagainya.

Menurut Uyun Jauhariyah (http://Uyun.blogspot.com), sekolah merupakan salah satu tempat untuk membimbing, mendidik, mengarahkan dan membentuk pribadi seseorang berperilaku yang baik. Inilah hal yang paling rumit dilakukan karena anak itu berasal dari latar belakang kehidupan yang berbeda-beda maka sekolah membentuk suatu alat untuk mengatur dan membatasi bagi anak-anak untuk berperilaku yang mengarah pada pendisiplinan terhadap norma-norma yang berlaku di sekolah dan sebagai alat pengendalinya adalah penghargaan (reward) dan hukuman (punishment).
Untuk dapat melaksanakan ketentuan tata tertib, peserta didik harus mempunyai ikatan disiplin, komitmen dan tanggungjawab (DKT).   Peserta didik harus menjunjung tinggi asas ketiga hal tersebut. Inilah yang menyebabkan peserta didik harus dibekali dengan latihan kedisiplinan. Hal ini menurut dikarenakan sekolah adalah intuisi yang langsung menangani pendidikan peserta didik, bersentuhan langsung dengan peserta didik. Untuk itu sekolah diharapkan mampu merespon kebijakan pemerintah dengan sebaik-baiknya untuk mampu mewujudkan tujuan nasional, meningkatkan pendidikan di negara kita.

C.    Kesimpulan

Pengelolaan sekolah menuju sekolah efektif tidak bisa dilakukan mutlak oleh kepala sekolah sebagai single fighter. Kepala sekolah merupakan pengambil kebijakan yang akan memberi warna terhadap perkembangan dan prestasi sekolah. Namun pelaksanaan tata tertib sekolah merupakan tanggung jawab semua anggota sekolah, atau stakeholder sekolah. Melalui dengan pemahaman bahwa semua stakeholder harus ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan sekolah, program sekolah akan bisa terlaksana secara optimal.
Pemahaman yang tinggi untuk ikut bertanggung jawab, berperan serta dan berpartisipasi secara tulus untuk melaksanakan tata tertib sekolah, inilah yang sebagian besar belum dimiliki oleh siswa atau stake holder sekolah. Masih banyak yang menganggap bahwa pengembangan dan pelaksanaan tata tertib sekolah merupakan tanggung jawab wakil kepala sekolah urusan kesiswaan atau pembina OSIS.
Sense of contribution adalah cara mengoptimalkan peran serta stake holder untuk mengembangkan tata tertib sekolah. Peran serta semua anggota dan warga sekolah sangat dibutuhkan. Dengan pemahaman dan pelaksanaan sense of contribution atau semangat memberi kepada sekolah yang dilakukan dengan komitmen tinggi, maka sebuah institusi pendidikan berupa sekolah baru bisa berbenah dan berjalan menuju perkembangan positif yang prospektif.
Dampak positif yang muncul dengan adanya tata tertib sekolah akan membuat siswa menjadi patuh pada peraturan sekolah atau guru, introspeksi dan berjanji tidak akan melanggar peraturan lagi, menjaga ketertiban sekolah, dan membantu mendisiplinkan siswa. Konteks inilah yang akan membuat peserta didik bertutur sapa secara sopan, peduli antar sesama, meminimalisir adanya sifat acuh pada peringatan sekolah atau guru, selalu mengulang kesalahan yang sama, tidak mentaati peraturan sekolah, mempropokasi teman-temannya untuk melanggar peraturan sekolah, cenderung bersikap kearah kriminalitas, dendam kepada guru dan membentuk geng dan lain sebagainya.
*  Wenny Nurul ‘Aini, S.Pd.I. adalah Alumni Program Studi PAI Jurusan Tarbiyah, ibunda dari One Saif Tania Putri (Sasa) dan Nabighoh Dwi Tania Putri (Deby) ini sekarang mengabdi sebagai guru PAI SMP Islam al-Irsyad Gandrungmangu Cilacap.

DAFTAR PUSTAKA


Azwar, Saifuddin. 2005. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakr, Muhammad Qasim t..t. al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim. Semarang: Toha Putra.
Dimas, Muhammad Rasyid. 2007. 20 Langkah Salah Mendidik Anak. Bandung: Syaamil Cipta Media.

Dimjati, M. Muchjiddin. 2000. Psikologi Anak dan Remaja. Yogyakarta: Aksara Indonesia.

Halim, Nipan Abdul. 2001. Anak Saleh Dambaan Keluarga. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Jauhariyah, Uyun. 2008. ” Kajian terhadap Tata Tertib Sekolah dalam meningkatkan Kedisiplinan Siswa di SMP Negeri 2 Tarogong Kidul”. http://Uyun.blogspot.com. Donwload pada tanggal 25 Agustus 2008.

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.

Muijs, Daniel dan Reynolds, David. 2001. Effective Teaching, Evidence and Practice. London: Paul Chapman Publishing.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Penanganan Siswa Bermasalah. http://akhmadsudrajat.wordpress.com. Donwload pada tanggal 25 Agustus 2008.

Sulaiman, Ali. 2001. Anak Berbakat. Jakarta: Gema Insani Press.

Sunarto dan B. Agung Hartono. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

Sutari, Imam Barnadib. 1984. Pengantar Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

1 komentar: