Kamis, 13 Oktober 2011

Reinterpretasi asal-usul kejadian perempuan


REINTERPRETASI KONSEP ASAL-USUL KEJADIAN PEREMPUAN 
MENURUT AMINA WADUD MUHSIN
Tarqum Aziz dan Wenny Nurul ‘Aini

A.        LATAR BELAKANG MASALAH
Diakui atau tidak, fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks-teks suci pada tataran praksis secara eksklusif dikuasai oleh kaum laki-laki. Wajar saja bila ada semacam absolutisme ijtihad di sini. Secara logis dan naluriah pula, kenyataan ini ikut menginfiltasi sejumlah teks yang sedianya diperuntukkan bagi feminitas perempuan dengan susupan-susupan subyektif dari pandangan maskulin si mufassir. Pengalaman laki-laki kemudian dipaksakan untuk memahami keperempuanan.
Adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan di lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat al-Qur`an dan hadits. Salah satu problem yang seringkali dianggap sebagai superioritas laki-laki adalah mengenai konsep penciptaan manusia, yang di dalamnya ada hadis  perempuan, yaitu Hawa yang dianggap sebagai manusia kedua (the second creation) setelah Adam. Doktrin yang menyatakan bahwa kaum perempuan adalah manusia kedua (the second class) telah mengakar dan bersemi pada setiap pikiran umat Islam. Hal terjadi karena kaum perempuan diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam sebagaimana yang dinyakini oleh beberapa mufassīr.
Ayat yang populer untuk melegitimasi adanya superioritas laki-laki atas perempuan adalah firman Allah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa' (4): 1 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒالنَّاسُ اتَّقُوْارَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ، وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَّنِسَآءً...

“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya, Allah menjadikan isterinya dan dari padanya, Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Ayat tersebut menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari satu sumber, yaitu nafs wahidah. Pada umumnya umat Islam menyakini bahwa Tuhan Sang Maha Pencipta telah menciptakan Adam dan Hawa dari asal-usul yang berbeda sehingga harus dibedakan. Adam diciptakan dari tanah, sementara Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Padahal jika mau jujur ayat tersebut masih sangat interpretable, karena menggunakan kata-kata ambigius (bersifat umum dan bersayap). Hal inilah yang membuat mufassir berbeda pandangan mengenai kata nafs wahidah, minha dan zaujaha. Jumhur ulama tafsir, semuanya menafsirkan nafs wahidah dengan Adam, minhā dengan bagian tubuh Adam dan kata zaujaha dengan Hawa (Nasaruddin Umar, 2002: xvi).
Menurut Engineer (2000: 66) manusia itu diciptakan dari esensi dan sumber yang sama (single soul), oleh karenanya ia menolak pandangan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Menurutnya hal tersebut secara implisit mengindikasikan inferioritas kaum perempuan sehingga nantinya dikemudian hari kaum perempuan dianggap sebagai “ciptaan kedua”, baik secara kronologis maupun ontologis. Padahal ayat tersebut dengan jelas mengindikasikan bahwa tidak ada superioritas antara dua jenis kelamin, keduanya secara esensial diciptakan dari entitas yang sama. Tuhan telah memuliakan semua anak Adam, termasuk di dalamnya tentu laki-laki dan perempuan.
Al-Qur`an tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs dalam arti Adam, seorang laki-laki. Asal-usul penciptaan manusia menurut versi al-Qur`an sesungguhnya tidak pernah dinyatakan dalam istilah jenis kelamin. Amina dengan tegas menyatakan: “The Qur`anic version of creation of humankind is not expressed in gender term” (Ahmad Baidhawi, 2005: 121-122).  Istilah nafs berkaitan dengan esensi manusia, laki-laki dan perempuan yang merupakan faktor penentu fundamental eksistensinya, dan bukan jenis kelamin.
Berdasarkan kenyataan itu, menurut Baidan, menafsirkan kata nafs wāhidah dengan pengertian “Adam” terasa kurang didukung oleh ayat-ayat lain sebab pengertian lafal nafs dalam al-Qur`an tidak menunjuk kepada diri Adam secara khusus, tetapi menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai dengan konteks pembicaraan, seperti jenis atau bangsa (Nashrudin Baidan, 1999: 8).
Menurut hemat penulis, laki-laki dan perempuan itu laksana dua sayap kupu-kupu, di mana keduanya harus berfungsi menggerakkan tubuhnya agar dapat terbang meluncur mecari makanan. Jika salah satu sayapnya patah atau dipatahkan, maka kupu-kupu itu tidak akan dapat terbang dengan baik, karena kehilangan keseimbangan. Inilah makna balancing power dari eksistensi perempuan bagi laki-laki.
Berangkat dari pandangan terhadap kejadian perempuan yang tersebut, maka kita tahu bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan substansi antara laki-laki dan perempuan. Jikalau keduanya ada perbedaan, maka substansi perbedaannya tidak pernah ditonjolkan. Hal ini berarti memang al-Qur`an sangatlah positif dalam memandang kaum perempuan.
Menurut Nasaruddin Umar (2001: 266) bahwa asal-usul kejadian manusia tidak diceritakan secara kronologis dalam al-Qur`an. Cerita penciptaan manusia banyak diketahui hadits, kisah-kisah isra'iliyyat dan riwayat-riwayat yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan cerita-cerita yang berasal dari kitab Talmud sebagai kitab yang banyak memberikan penafsiran terhadap kitab Taurat. Manusia yang pertama kali diciptakan ialah laki-laki (Adam), lalu daripadanya diciptakan perempuan (Hawa).
“Lalu Tuhan Allah membuat Adam tertidur lelap, saat ia tidur, Tuhan Allah mengambil sebilah tulang rusuknya lalu ditutuplah tempat itu dengan daging. Kemudian dari tulang rusuk yang diambil Tuhan dari Adam dan dibuatlah seorang perempuan, lalu dibawanya kepada Adam” (Zaitunah Subhan, 2002: 63).

Statemen al-kitab di atas mengisyaratkan bahwa perempuan adalah the second creation sesudah laki-laki (Adam) dan secara substansi laki-laki lebih utama daripada perempuan. Hal tersebut karena perempuan diciptakan dari unsur laki-laki. Pernyataan tersebut banyak menimbulkan komentar, khususnya dari kalangan feminis, apalagi jika dihubungkan eksistensi perempuan untuk melengkapi kebutuhan laki-laki.
Jika orang-orang non-Yahudi membaca beberapa pernyataan dalam Kitab Kejadian (genesis), maka jelas mereka akan terkesan bahwa substansi dan kedudukan perempuan jauh lebih rendah dibanding laki-laki. Setiap penganut agama tentunya mempunyai metodologi tersendiri dalam memahami statemen-statemen kitab sucinya. Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia Islam, di mana sebuah teks dapat dipahami secara berlainan antara satu ulama dengan ulama yang lain.
Pandangan negatif seperti itulah yang pada akhirnya mendarah daging dan terus tumbuh subur dikalangan umat Islam sehingga konsep teologi tersebut membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Melalui statemen itu, maka dikalangan umat Islam tersebar tiga asumsi teologis. Pertama, bahwa ciptaan utama adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sehingga secara ontologis bersifat derivatif dan sekunder. Kedua, perempuan adalah penyebab utama kejatuhan dan pengusiran laki-laki dari Surga. Ketiga, perempuan bukan hanya diciptakan dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki sehingga eksistensinya bersifat instrumental dan tidak mempunyai makna yang mendasar (fundamental) (Farid Wajidi, 1993: 13). Dari ketiga asumsi tersebut bisa dikatakan bahwa paradigma yang berkembang dikalangan umat Islam adalah bahwa perempuan merupakan subordinasi dari laki-laki. Tanpa laki-laki, perempuan tidak akan pernah ada.
Stigma negatif inilah yang kemudian melahirkan konsep inferior bagi perempuan dan superior bagi laki-laki. Munculnya penafsiran yang misoginis tidak terlepas dari kondisi dan situasi saat itu yang cukup banyak dipengaruhi oleh tradisi Isra'iliyyat yang berasal dari kitab Talmud dimana perempuan di gambarkan sebagai temptator (penggoda) yang selalu membawa bencana.
Pandangan diskriminatif tersebut jelas bertentangan dengan Islam yang senantiasa menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan, termasuk di dalamnya sebuah kehidupan rumah tangga dan pemenuhan seksualitas suami-isteri. Al-Qur’an sebagai rujukan umat Islam senantiasa mengajarkan adanya kebersamaan dan keadilan di segala lini kehidupan bukan diskriminatif. Tidak ada satu ayat pun yang mendukung pendapat yang menyatakan asal kejadian perempuan dari tulang rusuk. Namun justru sebaliknya al-Qur’an mendukung prinsip-prinsip kesamaan dan kesetaraan di hadapan Tuhan dengan menekankan unsur-unsur persamaan dalam kejadian Adam dan Hawa (perempuan).
Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manarnya sebagaimana dikutip Umar menyatakan bahwa seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman harfiah, niscaya pendapat itu tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang Muslim (Nasaruddin Umar, 1999: 98).
Adanya asumsi bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam berdasarkan pada hadits-hadits yang dikeluarkan oleh imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan ad-Darami.
حَدَّثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ وَمُوْسَى بْنُ حِزَامٍ، قَالاَ: حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ زَائِدَةَ، عَنْ مَيْسَرَةَ اْلأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِيْ حَازِمٍ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْ أَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Abu Kuraib dan Musa ibn  Hizam  keduanya berkata bahwa Husain  ibn ‘Ali menceritakan kepada kami dari Zaidah dari Maisaroh al- Asyja’i dari Abu Hazim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah S.a.w. bersabda: Berwasiat baiklah kepada perempuan, karena sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk, suatu bagian tulang yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas. Apabila engkau berusaha untuk meluruskannya (dengan keras), tentu ia patah. Apabila kamu biarkan, tentu ia akan senantiasa bengkok, maka berwasiat baiklah kepada perempuan. (Bukhari, 1996: IV/104)

Hadis-hadis di atas secara tekstual memiliki arti bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau perempuan seperti tulang rusuk. Teks-teks hadīs yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, tidak dijelaskan siapa perempuan yang dimaksud dan diciptakan dari tulang rusuk siapa. Namun, teks hadits inilah yang berkembang di masyarakat, bahkan mereka memberikan penafsiran lebih lanjut bahwa perempuan yang dimaksud dalam teks hadits itu adalah perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam).
Pemahaman bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yag diyakini berasal dari hadits Rasulullah S.a.w. kemudian menjadi doktrin teologi yang dipercaya oleh mayoritas masyarakat Islam. Konsep teologi ini jelas membawa implikasi-implikasi lebih lanjut, baik psikologis, sosial, budaya maupun politik yang bersifat misoginis. Kaum perempuan merupakan makhluk sekunder yang eksistensinya hampir sebagai pelengkap atau memiliki tugas melayani kaum laki-laki dalam segala bidang, baik pada wilayah domestik maupun publik.
Pemahaman yang sebenarnya bukan hadīs ini oleh mayoritas ulama, sebagaimana telah dikemukakan, digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat yang berakaitan dengan awal penciptaan manusia, khususnya Q.S. an-Nisa' (4) ayat 1. Mereka berasumsi dengan adanya hadits-hadits di atas dan cerita-cerita isra'iliyyat inilah yang sesungguhnya paling mempengaruhi masyarakat Islam. Menurut Engineer konsep penciptaan Hawa dari tulang rusuk itu sudah umum bagi kalangan umat kristiani dan umat Islam melalui hadits-hadits di atas. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan yang dikeluarkan oleh al-Qur`an yang menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu berasal dari satu jiwa (Engineer, 2003: 22). Dengan begitu, maka apabila masih ada statemen yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, jelas tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur`an. Di samping itu, dalam kenyataannya hadits yang mengarah pada pemahaman seperti itu diriwayatkan dengan matan yang berbeda-beda. Matan hadits yang berbeda-beda tersebut, secara garis besar memiliki dua arti, yaitu perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan perempuan seperti tulang rusuk.
Apabila kita cermati konteks hadits-hadits tersebut sebenarnya berisi anjuran bagi kaum laki-laki pada saat itu agar saling menasehati satu sama lain untuk berbuat baik kepada isteri-isteri mereka atau kaum perempuan secara umum. Pernyataan Rasulullah S.a.w. yang menyatakan bahwa perempuan itu laksana tulang rusuk, sesungguhnya mengisyaratkan bahwa laki-laki tidak boleh kasar atau melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan. Justru dengan bersikap lemah lembut pada kaum perempuan, maka keduanya akan dapat hidup berdampingan secara baik.
Sabda Nabi S.a.w. tersebut ditujukkan kepada kaum laki-laki sesuai dengan konteks masyarakat Arab ketika itu. Statemen itu secara implisit menunjukkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan ketika itu bahkan sampai sekarang sangatlah kuat sehingga Nabi merasa perlu untuk memerintahkan kaum laki-laki agar memperlakukan perempuan secara baik dan bijaksana. Maksud instruksi Nabi tersebut sesungguhnya ingin menghapuskan dominasi laki-laki dan budaya patriarkhi dan menggantinya dengan konsep kemitrasejajaran antara keduanya.
Pandangan ini diperkuat oleh imam Nawawi dan ‘Asqalani sebagaimana dikutip oleh Najib (2003: 18), mereka berdua menyatakan bahwa hadits-hadits di atas sesungguhnya hanya berisi anjuran untuk berlaku lemah lembut terhadap perempuan. Oleh karena itu hadits di atas tidaklah seharusnya diartikan secara hakiki, tetapi harus dipahami secara majazi. Hal ini dikarenakan perempuan itu mempunyai perangai yang suka bengkok.
Konsep inilah yang diasumsikan oleh para ahli tafsir seperti tulang rusuk yang suka bengkok. Menurut Quraish Shihab (1996: 271), tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi. Ia menyatakan:
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian kiasan (majazi), dalam arti bahwa hadits tersebut memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Interpretasi Quraish Shihab seperti di atas dapat membentuk sebuah pemahaman bahwa hadīs tersebut adalah sebuah tuntunan bagi laki-laki untuk memperlakukan perempuan secara bijaksana, karena pada perempuan ada sifat, karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki. Upaya untuk meluruskan tulang rusuk yang bengkok itu akan berakibat fatal dan kemungkinan akan patah.
Berangkat dari perspektif di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak hanya laki-laki yang memiliki nalar kritis untuk membahas dan menilai berbagai macam permasalahan, tetapi perempuan pun memilikinya. Oleh karena itu diperlukan suatu keberanian untuk bersikap dan berperilaku berdasarkan keyakinan bahwa perempuan juga makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mempunyai kebutuhan bertanya serta memperoleh jawaban tanpa merendahkan eksistensinya sebagai sesama manusia.
Paradigma semacam itulah yang menyebabkan gugurnya mitos yang secara umum berlaku dan dianut baik oleh laki-laki maupun perempuan sendiri, yaitu mitos tentang inferioritas perempuan sebagai manusia emosional dan superioritas laki-laki sebagai manusia rasional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perempuan mempunyai asal-usul dari sumber yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu tidak ada yang lebih superior dari yang lain. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, karena sama-sama berasal dari sumber yang sama.
Menurut Amina, al-Qur`an secara jelas menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan berpasangan. Implikasi teoritisnya dalam penciptaan manusia adalah bahwa antara laki-laki dan perempuan hendaknya bersatu, saling melengkapi dan saling mengisi satu dengan lainnya. Keduanya harus dipandang secara musawah (equal) dalam hubungan fungsional, bukan struktural. Karena jika dilihat secara struktural, maka cenderung melahirkan sikap dan budaya subordinasi, atas-bawah (Mustaqim, 2003: 73). Jadi antara keduanya tidak ada bedanya dalam hakikat kemanusiannya. Oleh karena itu, hal inilah yang hendaknya dijadikan landasan berpikir dalam memandang eksistensi manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Al-Qur'an secara jelas dan tegas begitu positif memandang kaum perempuan, namun mengapa kita harus masih mempersoalkannya.
Melihat kenyataan tersebut, sebagai feminis muslimah yang sejati, Amina dengan penuh kesadaran selalu mencoba mendobrak dominasi laki-laki dalam segala hal yang menyangkut Islam; agama yang konon membawa misi keadilan dan kesetaraan. Dobrakan itu pertama-tama ditujukan pada bidang tafsir dan fikih yang selama ini diyakini telah memberikan porsi begitu besar pada suara kaum laki-laki. Sementara untuk suara kaum perempuan sangatlah minim bahkan nyaris tidak terdengar gaungnya.
Menurut Ahmad Musthofa Haroen, kuatnya kesan dominasi budaya patriarkhi yang melekat pada berbagai khazanah ilmu-ilmu keislaman (khususnya tafsir dan fikih) telah menginspirasikan Amina untuk berpendapat bahwa obyektivitas sebuah metode penafsiran tidak pernah bisa mencapai level yang absolut. Subyektivitas seorang mufassir (baca: laki-laki) selalu ada dan tak jarang lebih dominan di dalam muatan tafsir atau fikihnya (http://islamlib.com). Celakanya, metode penafsiran semacam ini sudah terlembagakan selama berabad-abad. Epistemologi yang pada awalnya hanya merupakan sebuah varian dalam memahami agama, karena begitu mengakarnya, kemudian hari malah menjadi kebenaran yang mutlak, bahkan sering dianggap transenden dengan tingkat-tingkat sakralisasi yang luar biasa.
Pada titik-titik inilah, generasi muslim sekarang yang sebagian besar adalah muqallidin atau pengikut saja, tidak punya kemampuan yang cukup untuk membedakan antara 'penafsiran' dengan 'yang ditafsiri' itu sendiri. Produk akal manusia hasil kerja metodologi dan epistemologi tertentu disejajarkan dengan teks-teks suci yang sering disebut kalam Ilahi. Adalah sebuah kemustahilan sampai kapanpun, jika absolutisme ke-Tuhanan ataupun segala hal yang memancar atau beremanasi dari-Nya disetarakan dengan makhluk dalam pelbagai derajat hirarkinya. Perilaku-perilaku semacam ini, dapat saja dikategorikan sebagai syirik intelektual. Semua produk pemikiran keislaman yang terbukukan dan dipatenkan hingga kini oleh sebagian orang pada kitab-kitab turas, tak lepas dari bias masculino-centris.
Di era keterbukaan dan kesetaraan, di mana kita hidup sekarang ini,  upaya-upaya untuk meneruskan tradisi patriarkhi dalam berijtihad masih saja berlangsung. Perjuangan kaum minoritas yang menuntut hak-hak kaum hawa dalam beragama selalu dihadang atas nama Tuhan. Sistem penafsiran dan pemahaman teks-teks keagamaan yang kemudian dikodifikasikan sebagai sistem hukum dan way of life di kalangan umat Islam terasa begitu gentle. Inilah yang sering diistilahkan sebagai fikih dan tafsir maskulin atas agama. Artinya, sudah terjadi semacam operasi kelamin atas ayat-ayat suci.
Amina Wadud Muhsin, dengan segenap keberaniannya mencoba menggugat dominasi itu. Menggugat bukan berarti mencoba membalikkan keadaan, melainkan hanya usaha mewujudkan kesetaraan dan memposisikan keberpihakan Islam dalam soal jender secara proporsional.
Analisis Amina Wadud Muhsin sebagai seorang feminis muslimah itu berangkat dari fungsi kehadiran al-Qur’an bagi umat manusia. Menurut hemas penulis apa Amina dan feminis muslim lainnya berpijak dari misi al-Qur’an yang menghendaki pembebasan perempuan dari segala bentuk penindasan, eksploitasi, marginalisasi dan subordinasi kepentingan kaum laki-laki. Keadilan merupkan salah satu yang hendak ditegakkan al-Qur’an. Namun karena al-Qur’an hadir dalam masyarakat yang kental akan budaya patriarkhis menyebabkan ayat-ayatnya muncul dalam statemen yang beragam.
Sebagian ayat-ayat al-Qur’an menekankan persamaan status laki-laki dan perempuan. Inilah yang kemudian oleh para feminis dikatakan sebagai ayat-ayat normatif. Namun, di sisi yang lain terdapat pula ayat-ayat yang menyatakan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan. Teks-teks inilah yang oleh mereka kaum feminis diklaim sebagai ayat-ayat sosiologis-kontekstual. Oleh karena itulah, kaum feminis berusaha membuat sebuah penafsiran yang bertujuan untuk transformasi sosial kesetaraan jender yang memang menjadi tujuan Islam.
Reinterpretasi berarti memaknai ulang (rethinking) melalui sebuah upaya dekonstruksi. Dengan demikian, penulis ingin melihat sejauhmana Amina Wadud Muhsin melakukan sebuah penafsiran ulang terhadap teks-teks yang berkaitan dengan penciptaan perempuan beserta kerangka metodologis ia gunakan sebagai pisau analisanya. Amina lebih melihat sebuah teks dalam pendekatan perspektif jender atau pendekatan sosio-historis.
Jender sebagai sebuah perspektif mempunyai berbagai asumsi dasar, model, konsep serta metode yang digunakan untuk mengungkapkan dan menampilkan adanya fenomena jender pada suatu masyarakat. Di sisi lain perspektif jender juga mengkaji berbagai persoalan sosial-budaya yang ditimbul. Menurut Ahimsa sebagaimana dikutip Sodik (2003: xxiv), penggunaan perspektif jenderlah yang akan membangkitkan kepekaan kita terhadap fenomena ketidakadilan jender akan menjadi lebih kuat. Kita dapat memberi perhatian pada pola-pola interaksi, relasi dan pemisahan sosial antara laki-laki dan perempuan, serta berbagai macam implikasinya.
Perspektif keadilan jender ini seringkali digunakan untuk advokasi terhadap kaum perempuan yang diperlakuan secara tidak adil. Bersamaan dengan lahirnya perspektif jender, maka secara bersamaan muncullah kajian-kajian tentang feminisme yang kompleks. Kelahiran feminisme Islam kemudian oleh kalangan Islam sering dipakai sebagai perspektif dalam Islamic studies seperti dalam studi tafsir dan hadis. Melalui paradigma inilah akan ditemukan sebuah konsep tafsir yang ramah pada perempuan.
Amina Wadud Muhsin adalah seorang tokoh feminis muslim keturunan Malaysia yang lahir di Amerika pada tahun 1952. Ia merupakan guru besar (professor) pada Commonwealh University, di Richmond Virginia (Charles Kurzman, 2006: 230). Hal ini dikarenakan biografinya sulit dilacak secara pasti, baik dari karya-karyanya maupun dari orang yang pernah membahas penikirannya. Menurut Zahratunnisa` Hamdi (http://islamlib.com), Amina meraih gelar Ph.D bahasa Inggrisnya di Michigan University dan pernah belajar bahasa Arab di Universitas Amerika di Kairo dan Universitas Al-Azhar Kairo.
Isu yang sedang trend dan terus bergulir dari waktu ke waktu adalah masalah perempuan.  Konsep penciptaan perempuan adalah isu yang sangat penting dan mendasar dalam setiap perbincangan, baik ditinjau secara filosofis maupun teologis. Hal ini terjadi karena munculnya konsep kesetaraan atau ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan berakar dari asal-usul penciptaan perempuan. Inilah yang menyebakan perempuan dilukiskan sebagai makhluk yang unik dan aneh serta debatable. Dengan kata lain, perempuan merupakan sebuah persoalan yang masih problematik, krusial dan kontroversial.
Sejalan dengan maraknya perbincangan soal isu keperempuanan dewasa ini, maka kajian asal-usul kejadian perempuan dalam Islam selalu aktual untuk dikaji. Segi-segi yang selama ini masih kontroversial adalah terletak pada pemahaman baku yang dominan. Tafsir sebagai sumber hukum Islam yang pertama disinyalir menjadi salah sebab terjadinya subordinasi kaum perempuan. Oleh karena itu, kajian terhadap tafsir perciptaan perempuan telah banyak dilakukan.
Perempuan dan laki-laki hanyalah kategori spesies manusia. Keduanya dikaruniai potensi yang sama atau sederajat, dari ihwal penciptaan, keberpasangan, hingga balasan yang kelak mereka terima di akhirat. Satu-satunya nilai pembeda di antara keduanya adalah takwa, yang paling tepat dipahami dalam kerangka sikap dan perbuatan. Itulah yang ditegaskan Al-Qur’an, rujukan dari segala rujukan keislaman. Namun, seiring dengan tergantikannya peran sentral Al-Qur’an oleh tafsir-tafsir yang nyaris semuanya ditulis laki-laki, perempuan terus terkekang dalam pandangan dan kehendak masyarakat yang berpusat pada laki-laki. Akibatnya, tingkat partisipasi dalam masyarakat dan tingkat pengakuan akan pentingnya sumberdaya perempuan tak kunjung meningkat.
Penafsiran yang bias jender tentang konsep penciptaan perempuan sesungguhnya berpangkal pada interpretasi kata nafs wāhidah. Kata kunci ini pada umumnya ditafsirkan dengan Adam, di mana perempuan (Hawa) tercipta darinya. Penafsiran inilah yang kemudian mengantarkan kepada pemahaman bahwa sejak saat penciptaannya, perempuan memang sudah inferior dari laki-laki. Dengan demikian dalam kondisi yang inferior itu tidak mungkin perempuan akan dapat memimpin laki-laki yang lebih superior.
Menurut Atho Mudzhar (2001: 14-15), penafsiran tersebut ternyata amat lemah. Hal ini dapat dilihat dari dua alasan. Pertama, tidak ada satu kata pun dalam ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Siti Hawa (perempuan) dibuat dari bagian tubuh laki-laki (Adam) karena baik Adam maupun Hawa keduanya tidak disebut dalam surat an-Nisa’ ayat 1 tersebut. Kedua, kata anfus yang merupakan bentuk plural dari nafsun digunakan pada banyak tempat di dalam al-Qur’an dan kesemuanya tidak mesti berarti badan atau diri, sebagian berarti jenis, kaum atau bangsa. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada kelebihan laki-laki dari perempuan dari sudut asal kejadian karena keduanya berasal dari unsur yang sama. Perempuan bukan makhluk yang berasal dari diri Adam sebagaimana disebutkan oleh sebagian besar para ahli tafsir.
Melihat realitas tersebut, maka Amina (1994: 24) merekomendasikan untuk seorang mufasir harus dapat memahami weltanchauung atau word view sebagai kerangka paradigmanya. Di sisi lain, al-Qur’an juga tidak menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari diri laki-laki ataupun menunjukkan bahwa asal-usul manusia adalah Adam. Istilah nafs sesungguhnya berkaitan dengan esensi manusia laki-laki dan perempuan yang merupakan faktor penentu fundamental eksistensinya, dan bukan jenis kelamin.
Amina Wadud Muhsin menghendaki adanya dialog antara the world of text, the world of author dan the world of reader. Artinya, antara teks, konteks dan kontekstualisasi selalu berdialektika secara sirkular, karena memang sebuah teks harus dibaca secara produktif. Inilah yang penulis anggap sebagai makna sesungguhnya dari adagium shalihun likulli zaman wa makan. Dengan paradigma semacam ini, maka sakralitas teks menjadi hilang.
Tarqum Aziz, S.H.I. adalah Mantan Kabid Organisasi Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa (IMM) Banyumas (1999-2000) dan Anggota Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Cabang Gandrungmangu, Cilacap.

Wenny Nurul ‘Aini, S. Pd.I adalah Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah Cabang Gandrungmangu, Cilacap dan Guru Agama SMP al-Irsyad 2 Cilacap di Gandrungmangu.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar