Kamis, 13 Oktober 2011

Kontroversi Kepemimpinan Perempuan


KONTROVERSI KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz

A.    Latar Belakang Masalah

Permasalahan perempuan selalu menarik untuk dikaji oleh setiap insan yang memiliki kepedulian terhadap kedudukan perempuan itu sendiri. Sejarah perempuan adalah sebuah potret yang unik dan debatable. Dikatakan unik sebab di dalamnya terdapat unsur dan sisi yang tidak semuanya obyektif. Debatable karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang menyimpan sejuta persoalan, baik proses penciptaan, kodrat, hak, peran serta kedudukannya dalam realitas kehidupan.
Status perempuan dalam Islam akan dapat dipahami secara benar apabila kita mengetahui status mereka pada zaman pra-Islam. Hal ini dilakukan dikarenakan, tidak ada revolusi, politik atau sosio-keagamaan yang dapat menghapus semau jejak masa lalu. Kontinuitas senantiasa ada dan inilah yang memelihara pertautan organis dengan masa lalu. Pemutusan ikatan secara total dengan masa lalu, meskipun diusahakan, tidak pernah berhasil. Berbagai perlakuan terhadap perempuan di masa lalu memang telah diperbarui dengan adanya revolusi Islam, namun kembali muncul di dalam syari'at Islam melalui praktek-praktek masyarakat Arab pra-Islam.
Sejarah perempuan Islam dan non Islam berada dalam satu bangunan yang integral dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya sebagai bangunan sejarah kemanusiaan perempuan. Jadi mustahil untuk memahami status perempuan saat itu tanpa ilmu pengetahuan yang memadai untuk memahami posisinya dalam sejarah. Ini adalah prinsip dasar penelitian sosial yang menuntut pemahaman beragam tahap perubahan (Qosim Amin, 2003: 27). Dengan kata lain, kita membutuhkan keakraban dalam membahas masalah sejarah perempuan.
Perempuan dengan segala problematikanya memiliki sejarah yang panjang dan berliku. Gambaran sejarah pra-Islam menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki-laki adalah grand narrative dan pusat sejarah. Sementara kedudukan perempuan adalah sebuah keadaan yang inferior. Laki-laki dipersepsikan sebagai makhluk publik dan perempuan seolah dianggap sebagai makhluk domestik.
Pada dasarnya kepemimpinan tidak membedakan siapa pelakunya, apakah dilakukan oleh laki-laki atau perempuan, Kedua-duanyan berlaku persyaratan yang sama untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun karena dalam perjalanan sejarah perempuan kurang mendapat kesempatan untuk menjalankan kepemimpinan dalam masyarakat.
Luasnya wilayah historisitas agama itu menjadikan interpretasi agama sangat dipengaruhi oleh berbagai macam kepentingan, di mana para pemeluk agama itu berpijak. Jika teks suci agama jatuh kepada lingkungan masyarakat patriarkhis, maka sulit diingkari akan munculnya penafsiran yang bias pada kepentingan laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan adalah pengabdi kaum laki-laki. Hal ini terjadi adanya kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir laki-laki berkecenderungan bias laki-laki yang pada akhirnya merugikan kaum perempuan. Fenomena yang sama juga terjadi pada pemahaman terhadap hadis. Faktor tersebut telah menjadikan para pemerhati perempuan untuk mengkaji ulang hadis-hadis yang membahas perempuan.
Menurut kaum pembela perempuan, hadis-hadis tersebut masuk katagori hadis-hadis mysoginis, yaitu hadis-hadis yang membenci kaum perempuan. Nasib serupa juga menimpa pada studi Islam yang lain. Ini berarti bahwa laki-laki cenderung memproduksi hegemoni struktur jender dan seksualitas.
Stigma di ataslah yang kemudian melahirkan sebuah keyakinan dalam masyarakat bahwa laki-laki adalah manusia pertama dan perempuan adalah manusia kedua. Hal ini dikarenakan adanya hijab sebagai pembatas yang tegas antara laki-laki dan perempuan dalam dunia publik dan dunia domestik (Fatima Mernissi, 1997: 107-130). Pandangan seperti itulah yang telah membumi sehingga berakibat pada lahirnya asumsi bahwa perempuan tidak cakap memasuki dunia politik, terlebih lagi  jabatan kepala negara atau presiden dalam suatu negeri.
Diakui atau tidak, dehumanisasi terhadap kaum perempuan pernah terjadi sepanjang sejarah sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki yang semula setara dalam dunia politik telah berubah menjadi lahan pendeskreditan kaum perempuan sendiri melalui lembaga yang bernama tafsir dan fiqh. Salah satu alasan yang menjadi dasar penolakan tersebut adalah hadis yang berbunyi:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةًâ  رواه البخارى﴾
Tidak akan berjaya suatu kaum (bangsa) yang menyerahkan urusannya kepada perempuan (Al-Asqalani, 1996: 470).
Peneguhan pemahaman kebanyakan umat Islam tersebut pada akhirnya melahirkan stereotip peran jender, yaitu peran publik bagi laki-laki dan peran domestik bagi perempuan (Dadang S. Anshori, 1997: 3). Persepsi yang konservatif, eksklusif, intoleran, rigit, dan radikal tersebut harus segera dihentikan. Hal ini karena pemahaman tersebut bertentangan dengan spirit al-Qur`an yang selalu mengajak manusia untuk selalu berubah, progresif, tidak rigit, tidak statis dan humanis. Padahal sesungguhnya tidak ada otoritas siapa pun yang dapat mengklaim bahwa inilah satu-satunya tafsir yang paling benar. Hal ini karena truth claim boleh saja, tetapi harus tetap memiliki open truth claim bagi pendapat lain.

B.     Reposisi Peran Politik Perempuan

Hak perempuan di bidang politik, merupakan hak syar`i, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki.
Menurut Husein Muhammad (2004: 163-164), politik atau siyāsah secara sederhana diformulasikan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagian akhirat (tadbir al-syu’un al-‘ammah limashalihihim fi aal-ma’asy wa sa’adatihim fi al-ma’ad). Dengan begitu, politik adalah ruang maha luas, seluas kehidupan itu sendiri. Ia muncul  dalam ruang domestik maupun publik, ruang kultural maupun struktural, personal ataupun komunal. Namun seiring berjalannya waktu, politik seolah sekedar alat mencari kekuasaan bukan untuk kemakmuran rakyat.
Berbicara politik tidak akan lepas dari kata kepemimpinan atau leadership. Kepemimpinan dalam Islam sering disebut dengan imamah. Diskursus imamah lebih ramai dibicarakan banyak orang ketika sampai pada pembahasan imāmah kubra. Imamah tersebut seringkali menjadi topik utama dalam setiap diskusi, mulai lokal hingga internasional. Hal ini dikarenakan di dalammnya ada sesuatu hal yang menarik dikaji  jika dibandingkan dengan imamah shugra. Masalah khilafah[1] inilah sesuatu yang menarik tersebut.
Diskursus tentang imamah akan lebih seru lagi ketika dikaitkan dengan kepemimpinan politik perempuan. Inilah suatu wacana yang sekarang sedang popular dalam masyarakat Islam. Wacana tersebut sangat menarik untuk dikaji, terutama oleh para pemerhati perempuan. Segi-segi yang selama ini masih kontroversial terletak pada pemahaman baku yang dominan bahwa perempuan, berdasarkan telaah tekstual nas-nas al-Qur’an dan hadits  lebih banyak diposisikan sebagai second class setelah kaum laki-laki. Di samping itu, sejarah perempuan adalah sebuah sejarah kemanusian.
Wacana kepemimpinan perempuan dalam Islam selalu menarik untuk dikaji. Segi-segi yang selama ini masih kontroversial terletak pada pemahaman baku yang dominan bahwa perempuan berdasarkan telaah tekstual nas-nas al-Qur`an dan hadīs lebih banyak diposisikan sebagai manusia kelas dua setelah kaum laki-laki. Berbagai upaya memelihara ortodoksi dan tradisi ini banyak dilakukan, bahkan ayat-ayat yang secara netral menempatkan perempuan setara dengan laki-laki ditafsirkan sedemikian rupa sehingga kesaman kesetaraan jender ini lalu terhegemoni oleh pemahaman bahwa perempuan memang diciptakan untuk mengabdi kepada kaum laki-laki.
Menurut kelompok konservatif bahwa Islam membagi dunia peran itu menjadi dua bagian. Pertama, wilayah publik (al-wilāyah al-'āmmah) dan wilayah domestik (al-wilāyah al-khāssah).[2] Wilayah publik mencakup urusan-urusan sosial kemasyarakatan, seperti penyusunan undang-undang dan lain sebagainya. Wilayah ini menjadi kekuasaan kaum laki-laki, sedangkan wilayah domestik atau khusus meliputi tugas-tugas rumah tangga, mendidik anak dan sebagainya yang diberikan kepada kaum perempuan. Hal tersebut melekat karena secara historis sejak kelahirannya. Islam tidak pernah menyandarkan urusan politik ke pundak perempuan, apalagi untuk menduduki jabatan kepala negara atau presiden.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar pada tahun 1952, misalnya menyebutkan:
"Syari'at Islam melarang kaum perempuan mendudukijabatan-jabatan yang meliputi kekuasaan umum (publik). Yang dimaksud kekuasaan umum dalam fatwa di atas adalah as-Sultah al-Mulzimah (kekuasaan memutuskan atau memaksa)  dalam urusan-urusan kemasyarakatan (al-Jamā'ah), seperti kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan kehakiman (yudikatif) dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)".[3]

Berdasarkan keterangan di atas, sudah dapat diduga bagaimana pendapat ahli fiqh tentang posisi presiden perempuan. Sementara itu Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa syarat laki-laki menjadi seorang presiden merupakan ijma' para ulama fiqh. Ia juga menegaskan:
Tidak sah perempuan menduduki jabatan kepala negara (al-imāmah al-uzma) dan gubernur. Nabi S.a.w., Khulafāur Rāsyidīn dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan sebagai hakim dan gubernur (wilāyah al-balad).[4]

Sedangkan menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang dapat menduduki posisi tertinggi bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.                  Memperoleh dukungan mayoritas.
2.                  Memenangkan dukungan.
3.                  Memiliki kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.[5]
Adanya larangan tentang kepemimpinan perempuan seperti di atas salah satunya mengacu pada hadīs Abū Bakrah yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً[6]
Usmān ibn Haiśam memberitahukan kepada kami, ‘Auf menceritakan kepada kami dari Hasan dari Abū Bakrah, ia berkata: Sungguh Allah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasūlullāh S.a.w. saat perang Jamal setelah aku hampir saja bergabung dengan kelompok Jamal untuk berperang bersama mereka. Ia berkata: ketika sampai berita kepada Rasūlullāh S.a.w. bahwa bangsa Persia telah mengangkat puteri Kisrā menjadi ratu mereka, beliau bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang perempuan”.

Hadīs Abū Bakrah di atas diperkuat oleh statemen yang menyatakan bahwa perempuan diragukan dapat menjadi seorang pemimpin karena perempuan tidak terbiasa dengan kesiapan diri dalam segala situasi dan kondisi sebagaimana dinyatakan oleh al-Jazīrī yang menyebutkan:
الإ مام ذكرا ليتفرغ ويتمكن من مخالطة الرجال: فلا يصح ولاية امرأة، لماورد فى الصحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة. ولا يصح ولاية الخنثى[7]

Laki-laki agar selalu siap dan dapat bercampur dengan laki-laki, maka tidak sah kepemimpinan seorang perempuan. Sebab adanya keterangan dalam as-sunah bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang yang dipimpin oleh seorang perempuan dan tidak sah pula kepemimpinan seorang perempuan ”.

Menurut Asbāb al-wurūd hadīs tersebut bersifat kasuistik, yaitu berkaitan dengan pengangkatan putri Kisrā yang bernama Buran binti Syairawaih ibn Kisrā sebagai raja Persia. Namun kepemimpinannya tidak bertahan lama sebab dia dinilai tidak memilki kemampuan untuk memimpin negara. Dengan demikian latar belakang hadīś tersebut bersifat kasuistik dan kondisional. Fokus pembicaraan Nabi bukan seluruh perempuan, akan tetapi ditujukan terhadap putri Kisrā yang dinilai tidak memiliki kredibilitas dan kapabilitas sebagai pemimpin. Atau boleh jadi, statemen Nabi ini khusus pada saat itu, yaitu kemampuan perempuan dalam masalah kenegaraan belum memadai.[8]
Kehidupan umat Islam dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, termasuk dalam persoalan nilai yang dijadikan standar atau ukuran. Akibat dari perubahan ini, terutama era ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang, hampir segala sesuatu selalu dinilai dengan pertimbangan rasio atau akal. Oleh sebab itu, banyak produk hukum Islam, termasuk dalam hal politik kenegaraan tidak bisa diterima begitu saja, karena tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat. Salah satu contohnya adalah kepemimpinan politik perempuan. Hadīs  yang melarang kaum perempuan untuk dapat tampil di medan politik dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan struktur sosial, ekonomi dan teknologi.
Hadīs tentang kepemimpinan politik perempuan di atas dapat dikatakan bahwa kapasitas Nabi saat menyampaikan hadīś itu bukan dalam kapasitas sebagai Nabi atau Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkapkan realitas sosial keberadaan masyarakat pada saat hadīs tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan kepada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan demikian hadīs tentang pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan putrid Kisrā sebagai raja Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar'i kepala Negara. Namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima mengabarkan kepada kami tentang dirobeknya surat Nabi oleh Kisrā Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin Negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.[9]
Menurut Asghar Ali Engineer hadīs itu termasuk hadīs ahad karena diriwayatkan oleh segelintir sahabat dan tidak dikuatkan oleh riwayat lain. Hadīs ahad sifatnya tidak mengikat, oleh karenanya tidak perlu dijadikan landasan bertindak.[10] Engineer juga menegaskan bahwa hadīs tersebut tidak ada saat perang Jamal, namun mengapa Abū Bakra sebagai rawi tunggal baru mengingatnya saat perang Jamal.[11] Oleh karena itu perlu dikaji ulang lagi hadīs di atas.
Islam adalah agama rahmatan li al-‘ālamīn, sebuah agama di mana perempuan mewakili satu dari dua bagian kemanusian. Islam mengakui urgennya peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Oleh karena itu, perempuan telah diberikan hak politik yang mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat dan mulia dalam Islam.
Citra perempuan yang diidealkan oleh al-Qur`an adalah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlāl as-siyāsah) yang secara eksplisit menggambarkan perempuan yang menjabat kepala pemerintahan negeri Saba yang terilustrasikan dalam surat an-Naml (27) ayat 23.
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ âالنَّمل: 23     
Sesungguhnya menceritakan kepadaku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Ratu Bilqis penguasa Saba yang sah, bukan hanya berhasil mengentaskan rakyatnya dari kesengsaraan, melainkan juga membawa mereka kepada sebuah kehidupan yang makmur dan mencapai budaya yang tinggi dalam bidang sains dan seni. Di samping itu ia juga sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Hal ini nampak ketika ia menerima surat dari Nabi Sulaimān, maka ia kumpulkan para pembesar untuk memusyawarahkan surat Sulaimān itu. Dengan demikian, pemerintahan kerajaan Bilqis bersifat demokratis, otoritas kepala Negara tidak hanya berada di tangan Bilqis sendiri, melainkan juga berada di tangan para penasehat.
Di sisi lain, al-Qur`an juga mengajak umatnya untuk mengembangkan sikap musyawarah sebagaimana dijelaskan dalam surat Asy-Syūra' (42): 38 yang berbunyi:
...وَاَمُرُهُمْ شُوْرى بَيْنَهُمْ  ...âالشُّورى: 38                           
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.
Saling tukar pikiran adalah prinsip yang sangat esensi dalam Islam. Metodologi yang disusun oleh Islam untuk menciptakan sebuah bangsa yang berhasil dengan mengajak setiap anggota masyarakat untuk saling menasehati dan bermusyawarah satu sama lain. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan diajak untuk senantiasa bersama dalam menyampaikan pendapatnya masing-masing. Hak politik yang diberikan kepada perempuan dijamin oleh Islam sepanjang hak tersebut digunakan untuk kesejahteraan umat secara keseluruhan dan tidak menimbulkan kejahatan besar yang berakibat pada munculnya fitnah dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Kaum perempuan juga mempunyai hak untuk berperan serta dalam kehidupan politik dan kehidupan sosialnya, perempuan berhak untuk berpartisipasi dalam memilih kepala negara dan pemimpin umat. Ia boleh berperan serta dalam aktivitas politik dan sosial sebagaimana partisipasi kaum laki-laki, perempuan juga boleh mengelola yayasan, organisasi dan partai. Ia juga tidak dilarang menempati kementerian, parlemen dan kursi politik yang lain. Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis.
Persoalan politik yang ada di dalamnya yang sangat urgen adalah kekuasaan sebagai nilai yang paling dominan. Hal ini menurut Subhan dikarena orang atau kelompok yang ingin mencapai kekuasaan mutlak setidaknya harus memenuhi ketentuan dan penguasaan atas ability (kemampuan), capacity (kecakapan), fakulty (kesanggupan) dan skill (ketrampilan). [12] Oleh karena itu, pada dataran praktis, kaum perempuan memiliki hak untuk memainkan peran politik apapun, di mana kemampuan, keahlian, dan karakteristik mereka berbeda antara yang satu dengan yang lain. Diferensiasi ini yang menyebabkan sebagian perempuan ada yang bisa memainkan peran politik tertentu. Sementara sebagian yang lain belum maksimal menjalankannya.
Kemandirian perempuan, mengharuskannya tampil sebagai perempuan dengan bargaining position yang strategis. Oleh karena itu kemandiriannya tidak boleh lebur sehingga menjadikannya sebagai laki-laki, dan tidak juga menjadikannya harus pasrah atau mengalah dengan mengorbankan kepentingannya sebagai perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki. 
Suasana seperti itulah yang membuat laki-laki dan perempuan dapat bekerja secara simultan dalam rangka membangun sebuah peradaban. Kemesraan keduanya ilustrasikan oleh Safia Iqbal sebagai berikut:
Men and women aare equal in such an arrangement and there is no question of one being inferior to the other. In fact, role and relationship to words by the Qur’an when it terms them asattirefor each other an attire which shields, conceals, protects, beatifies, cushions. Further, men and women have equal rights over each other, these rights being balanced by equal duties.[13] 

Laki-laki dan perempuan adalah sederajat/setara dalam beberapa hal dan tidak ada yang menanyakan tentang seseorang yang derajatnya lebih rendah (inferior) dari yang lain. Pada kenyataannya, peran dan hubungan menjadi mesra yang diekspresikan al-Qur’an, di mana al-Qur’an mengibaratkan mereka laksana hiasan untuk masing-masing yang lain. Sebuah hiasan mencakup penadah/tameng, rahasia, perlindungan, keindahan. Selanjutnya laki-laki dan perempuan  diberi hak yang setara/sama, hak ini menjadi seimbang dengan tugas yang sama.

Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki- untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil. Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki.
‘Āisyah binti Abū Bakar dan Ummu Salamah binti Ya’qūb, keduanya adalah isteri Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah perempuan-perempuan yang memiliki peranan penting dalam kancah politik ketika itu. ‘Āisyah  sendiri memimpin langsung peperangan melawan ‘Ali ibn Abū Tālib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara (perang jamal), sedangkan Ummu Salamah adalah penasehat Nabi dalam bidang politik yang cerdas (perjanjian Hudaibiyyah) yang sering bertindak sebagai komando bagi kaum perempuan dan juga Nusaibah binti Ka’ab, seorang perempuan yang berhasil melindungi Nabi Saw. dari serangan musuh saat perang Badar.[14] Selain itu masing ada nama Fātimah binti Muhammad (anak Nabi dan Isteri ‘Ali ibn Abū Tālib), ‘Ātikah binti Yazīd ibn Mu’āwiyah, al-Khaizeran binti ‘Ātak, Ummu Sīnan al-Aslāmiyah, Safīyah, Lailā al-Ghaffariyah yang tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Hindun binti Yazīd al-Ansāriyah, Zaiqā binti ‘Ali ibn Qais, Ummu Khair al-Baiqiyah dan Ikhrisyah binti al-Atrus adalah perempuan-perempuan yang telah membantu ‘Ali ibn Abū Tālib dalam peperangan melawan Mu’āwiyyah.
Perempuan dan laki-laki memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Sally Hegelsen memberikan pernyataan bahwa perempuan akan mencapai gaya tansformasional jika mengenali sumber-sumber kekuatan dirinya dengan cara menggali dan memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan mengubah treaths menjadi opportunity. Chua bahkan menyatakan bahwa women way attention to small things from beginning to ensure a projects success.[15] Melalui paradigma ini, penulis dapat katakan bahwa kepemimpinan seseorang diukur dari bagaimana ia mampu menghegemoni masa. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang mampu mencari jalan untuk membuat segalanya menjadi sebuah kenyataan. Laki-laki dan perempuan dapat meraihnya jika di antara keduanya memiliki manajerial leadership yang baik dan mumpuni. Jadi kepemimpinan transformasional adalah menunjukkan kemampuan pemimpin perempuan dalam mentransformasikan minat orang lain ke dalam cita-cita. Sementara laki-laki memakai gaya kepemimpinan transaksional yang memandang performa pekerjaan sebagai serangkaian transaksi, ganjaran atau penghargaan bagi yang memiliki performa baik atau pelayanan yang buruk. Di samping pendekatan sosio-teologis yang digunakan untuk mneghasilkan sebuah pembacaan yang produktif (al-qirāah al-muntijah) bukan pembacaan yang yang diskriminatif.

C.    Kesimpulan

Pada hakikatnya, politik adalah power (keuasaan) dan pengambilan keputusannya dimulai dari institusi keluarga sampai institusi politik formal tertinggi. Oleh karena itu, pengertian politik pada prinsipnya juga meliputi masalah-masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang realitasnya selalu melibatkan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kancah politik bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkan, menurunkan atau merebut kekuasaan dari laki-laki, melainkan supaya dapat menjadi kitra sejajar laki-laki.
Berangkat dari perspektif di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak hanya laki-laki yang memiliki nalar kritis untuk membahas dan menilai berbagai macam permasalahan, tetapi perempuan pun memilikinya. Oleh karena itu diperlukan suatu keberanian untuk bersikap dan berperilaku berdasarkan keyakinan bahwa perempuan juga makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mempunyai kebutuhan bertanya serta memperoleh jawaban tanpa merendahkan eksistensinya sebagai sesama manusia.
Melalui paradigma semacam itu, maka akan gugurlah mitos yang secara umum berlaku dan dianut baik oleh laki-laki maupun perempuan sendiri, yaitu mitos tentang inferioritas perempuan sebagai manusia emosional dan superioritas laki-laki sebagai manusia rasional. Oleh karena itu tidak ada yang lebih superior dari yang lain. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, karena sama-sama berasal dari sumber yang sama. Jadi antara keduanya tidak ada bedanya dalam hakikat kemanusiannya. Oleh karena itu, hal inilah yang hendaknya dijadikan landasan berpikir dalam memandang eksistensi manusia, baik laki-anak laki-laki maupun perempuan. Al-Qur'an secara jelas dan tegas begitu positif memandang kaum perempuan, namun mengapa kita harus masih mempersoalkannya.
* Tarqum Aziz, S.H.I. adalah Alumni Program Studi Muamalah Jurusan Syari’ah dan Mantan Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAIN Purwokerto (2001-2002) serta Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Kotif Purwokerto (1998-2000).



DAFTAR PUSTAKA

al-‘Asqalānī, Al-Hāfiz Syihābuddīn Abū al-Fadl Ahmad ibn ‘Alī ibn Hajar. 1996. Fathul Barī bi Syarh Sahīh al-Bukhārī. Juz VIII. Beirūt: Dār al-Fikr.

al-Bukhārī, Al-Imām Abū 'Abdullāh Muhammad ibn Ismā'īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah ibn Bazdiyah al-Ju’fī. t.t. Sahīh al-Bukhārī. Juz V & VIII. Beirūt: Dār al-Fikr.

Ali, Nizar. 2003. “Kepemimpiann Perempuan Dalam Dunia Politik”. dalam Hamim Ilyas. dkk. Perempuan Tertindas: Kajian Hadits-hadits Misoginis. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga..

al-Jazīrī, 'Abdurrahmān. t.t.   al-Fiqh ‘ala al-Mazāhib al-Arba’ah. Juz V. Beirūt: Dār al-Fikr.

Amīn, Qāsim. 2003. Menggugat Perempuan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Anshori, Dadang S. 1997. “Dari Feminis hingga Feminim: Potret Perempuan di Dunia Maskulin”. dalam Dadang S. Anshori, et. al. (ed), Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.

Arif, 'Abdul Salam. 2001. “Reinterpretasi al-Nas dan Bias Gender dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal   Asy-Syir’ah. Vol. 35. No.II. 2001.

az-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh. Juz VIII. Beirūt: Dār al-Fikr.

Bhasin, Kamla. 1996. Menggigat Patriarkhi. Yogyakarta: Bentang.

Echols, John M. dan Hasan Shadily. 1987. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Engineer, Asghar Ali. 2000. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Cet. II. Yogyakarta: LSPPA.2000.

Hasyim, Syafiq. 2001. Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. Bandung: Mizan.

Jindan, Khālid Ibrāhīm. 1999. Teeori Politik Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Lihat Majalah Rindang, No. 3. TH. XXVIII. Oktober,. 2002, hal. 39.

Mernissi, Fatima . 1994. Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan. Bandung: Pustaka.
_____________. 1997. Peran Perempuan dalam Politik. Surabaya: Dunia Ilmu.

Muhammad, Husein. 2002. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Cet. II, Yogyakarta: LKiS.

________________. 2004. Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKiS.

Safia Iqbal. 2000. Women and Islamic Law. New Delhi: Shah Offset Printer.

Shafiyyah, Amanatullah dan Haryati Soeripno. 2003. Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Gema Insani Press.

Subhan, Zaitunah. 2004. Perempuan dan Politik dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender. Cet. II. Jakarta: Paramadina.



[1]Kepemimpinan Islam dalam perspektif politik sudah tercermin dalam sejarah Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya 15 ratu-ratu Islam, di antaranya Sultanah Syajarat al-Durr dari dinasti Mamalik. Lihat Fatima Mernissi, The Forgetten Queens of Islam, Alih Bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 140-176.
[2]Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 191.   
[3]Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 141.   
[4]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, Juz VIII, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1989), hal. 6179.   
[5]Khālid Ibrāhīm Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah, Alih Bahasa Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal. 100.   
[6]Al-Imām Abū 'Abdullāh Muhammad ibn Ismā'īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah ibn Bazdiyah al-Bukhārī al-Ju’fī, Sahīh al-Bukhārī, Juz V, Kitāb Magāzi, Bāb Kitāb an-Nabiyy S.a.w. ilā Kisrā wa Qaisar, (Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), hal. 136. lihat pula kitab fitan
[7] 'Abdurrahmān al-Jazīrī,  al-Fiqh ‘ala al-Mazāhib al-Arba’ah, Juz V, (Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), hal. 416.
[8]'Abdul Salam Arif, “Reinterpretasi al-Nas dan Bias Gender dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal   Asy-Syir’ah Vol. 35. No.II. 2001, hal. 38.
[9]Nizar Ali, "Kepemimpiann Perempuan Dalam Dunia Politik", dalam Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas: Kajian Hadits-hadits Misoginis, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 299.
[10]Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cet. II, Alih Bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf,  (Yogyakarta: LSPPA, 2000)., hal. 118.
[11]Ibid.
[12]Zaitunah Subhan, Perempuan dan Politik dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal. 40.
[13]Safia Iqbal, Women and Islamic Law, (New Delhi: Shah Offset Printer,  2000), hal. 15.  
[14]Amanatullah Shafiyyah dan Haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 32-34.  
[15]Lihat Majalah Rindang, No. 3, TH. XXVIII, Oktober, 2002, hal. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar