Kamis, 13 Oktober 2011

Urgensi Dai dalam Dakwah


URGENSI PERAN DAI DALAM DAKWAH ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz*


A.    Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah dan muamalah. Dengan kata lain, Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya.
Islam adalah suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena itu dalam aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam harus diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan tujuan Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.
Islam adalah agama yang memandang setiap pemeluknya sebagai Dai bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini menurut Thomas  W Arnold (1981: 1) dalam bukunya The Preacing of Islam disebabkan Islam tidak menganut sistem hierarki religius. Dengan kata lain, Islam merupakan sebuah ajaran yang bersifat universal dan holistik. Universalisasi Islam inilah yang menuntut setiap Muslim berkewajiban menyampaikan visi dan misi Islam kepada seluruh umat manusia sepanjang peradaban manusia masih eksis.
Salah satu aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang harus dipikul dan akan mengembalikan izzah Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat ijabah maupun umat dakwah. Tanpa dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berjalan.
Dakwah Islam merupakan suatu usaha yang tidak pernah mengenal batas finish, selama planet bumi ini masih didiami manusia dengan segala corak permasalahannya, maka selama itu pulalah proses dakwah menjadi bahan perbincangan yang wajib ditindaklanjuti, karena ia merupakan satu wahana spiritual bagi kelangsungan keberagamaan umat Islam yang pada diri mereka terdapat satu pedoman sarat dengan nilai dan norma sebagai doktrin yang wajib dilaksanakan (Jakfar Puteh, 2006: 100). Dakwah adalah sebuah ikhtiar dalam rangka sosialisasi ajaran Islam. Menerima atau menolak ajaran Islam yang telah didakwahkan kepadanya adalah urusan Allah, manusia sekedar berusaha semaksimal mungkin sehingga ia tidak berhak menentukan keberhasilan sebuah misi dakwah.
Di samping itu, tujuan dari dakwah itu sendiri untuk melakukan perubahan masyarakat menuju kebaikan dan keselarasan hidup serta transformasi kontinyu untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, urgensitas dakwah harus tetap ditumbuhkembangkan seiring sejalan dengan modernisasi.
Keterbukaan terhadap arus modernisasi yang menyangkut perkembangan peradaban dalam era globalisasi ini memberikan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi harus diantisipasi oleh dunia dakwah sebagai agen penyebar dan pembangunan umat. Hal ini selaras dengan statemen Machendrawaty (2001: 79)  yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama wahyu selalu berhadapan dengan zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, umat Islam selalu ditantang bagaimana mensintesakan keabadian wahyu dengan kesementaraan zaman. Dengan kata lain, dakwah harus merespon kondisi perkembangan luar dan tentunya harus beradaptasi terhadap sesuatu yang baru.
Dakwah Islam berlangsung pada semua lapisan masyarakat, baik masyarakat yang peradabannya telah maju maupun masyarakat yang sedang mengalami transisi, pribumi maupun non pribumi. Dakwah harus dimaknai sebagai jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan umat. Hal ini sesuai dengan hakikat dakwah yang selalu terpanggil untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh umat manusia.
Misi dakwah dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu mengajak umat manusia ke dalam sistem Islam dengan landasan berpikir yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Permasalahan yang dihadapi oleh umat selalu berbeda baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun demikian, permasalahan umat tersebut perlu diidentifikasi dan dicarikan alternatif solusi yang relevan dan strategis melalui pendekatan-pendekatan dakwah yang sistematis, smart, dan profesional, atau perlu adanya ideologi gerakan dakwah meminjam bahasa Munir Mulkan (1996: 52).

B.     Reposisi Peran Dai dalam Dakwah

Manusia yang hidup sesuai dengan fitrahnya akan selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih baik, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah mau pun bagi sesamanya. Di sinilah dakwah akan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan kemuliaan manusia. Oleh karena itu, dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tingkat dinamisasi kehidupan global yang semakin tinggi dan kompetitif telah menggiring umat manusia untuk memandang persoalan hidup secara pragmatis, logis, serba instans, matematis. Hal ini berimplikasi pada lemahnya semangat transendental dan memudarkan relasi-relasi sosial sehingga pada akhirnya lahirlah berbagai kenyataan sosial yang paradoksal dengan cita ideal Islam.
Menurut K.H. MA Sahal Mahfudz (http://pcinu-mesir.tripod.com),  dalam tulisannya yang berjudul Dakwah Yang Partispatif, menyebutkan bahwa dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islami tidak lagi manjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islami dalam masyarakat dan berbangsa mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala akibat kemajuan dunia usaha yang memacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan mengganggu keimanan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi srta dampak hasil pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekuler, sementara di sisi lain justru lebih bersifat agamis, bahkan senderung sufistik atau fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga kelompok yang sering disebut para-normal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yangmengalami keputusasaan.
Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan mereka. Pemahaman mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang astu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya aqidah, syari'ah, akhlak, mu'asyarah, dan lain sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalen dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di lain pihak. Hal ini senderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari keduanya sering mengundang kesalahpahaman.
Kegiatan dakwa Islamiyah tidak bisa lepas dari dai sebagai orator dakwah, di mana kegiatan dakwah itu sendiri merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (da'i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah sehingga keduanya sama-sama menuntut porsi materi,metode dan media tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil apabila ke lima unsur di atas berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan “pengajian” di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan massa luas dan heterogen yang menyambutnya dengan tepukantangan menggema di tengah-tengah lapangan. Namun lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari sisi pengamalan dan wawasan agamanya. Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan dakwah hana dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum pengajian dan hebatnya mubaligh yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diimbangi dengan evaluasi massa pengunjungnya. Apakah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wawasan keberagamaannya? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan kagum dan puas terhadap pembawaan mubaligh?
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.
Melihat realitas di atas, maka diperlukan paradigma baru dalam melakukan dakwah Islam yang dijalankan secara sistematis dan profesional melalui langkah-langkah yang strategis. Oleh karena itu, profesionalisme, langkah strategis dan pro aktif senantiasa dibumikan, di samping model dakwah konvensional, sporadis, dan reaktif. Hal ini dikarenakan mad’u semakin kritis dan tantangan dunia global semakin kompleks sehingga strategi dakwah yang mantap insya Allah akan mampu bersaing di tengah bursa informasi yang kompetitif.
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah menurut Usman Jasad (2004: 38-39), harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif. Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.
Aktivitas dakwah dipandang sebagai kegiatan yang memerlukan sebuah keahlian khusus. Oleh karena itu, seorang juru dakwah seharusnya memiliki kualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Mengingat suatu skill memerlukan penguasaan pengetahuan, maka dai atau muballigh harus memiliki kualifikasi dan persyaratan akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah (Asep Muhyiddin, 2002: 34). Mulkan (1996: 237) bahkan mengatakan bahwa juru dakwah harus memiliki dua kompetensi, yaitu kompetensi substansif dan kompetensi metodologis. Sinergitas antara pribadi dan kelompok mengarah pada lahirnya sebuah perubahan yang lebih baik dan mulia. Perubahan tersebut menyangkut sikap hidup dan perilaku manusia secara individu maupun menyangkut tata kehidupan masyarakat agar senantiasa diliputi rasa kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian, baik lahir maupun batin di dunia dan di akherat dalam semua aspek kehidupan.
Dakwah itu sendiri sesungguhnya adalah usaha untuk melakukan perbaikan guna meningkatkan kualitas diri manusia yang sebagaimana dikehendaki oleh Allah melalui ajaran-ajaran-Nya yang telah disampaikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini menurut A. Hasjmy (1994: 3) karena dakwah memberi pengertian kepada umat manusia agar mengambil segala ajaran Allah yang  terkandung dalam al-Qur’an untuk menjadi jalan hidupnya.
Kecerdasan seorang dai dalam memilih media atau sarana yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah. Media dakwah berguna untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan kemajuan serta kecanggihan teknologi. Ketertinggalan umat Islam dan sifat tertutup dari dunia luar, sedikit banyak menjadi salah satu sebab ketidakberhasilan dakwah.
Sinyalemen di atas sejalan dengan statemen Quraish Shihab (1994: 194) yang menyatakan bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat sekarang adalah masyarakat majemuk yang berkembang dengan berbagai kebutuhan praktis sehingga kecanggihan teknologi menjadi idaman dalam kehidupannya.
Seorang dai harus dapat mengajak kepada orang lain secara perorangan dengan tujuan memindahkan mad’u kepada keadaan yang lebih baik dan diridlai Allah (Mahmud, 1992: 29). Fungsi al-Qur’an sebagai furqan harus ditanamkan kepada setiap muslim. Petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur’an harus dijadikan sebagai panduan moral untuk membedakan antara yang haq dan bathil.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, sekaligus mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict  (1973: 29) dalam Theories of Man and Culture, di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.

Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ                                     

Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.


C.    Kesimpulan

Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, dan baik secara individu, kelompok atau berbentuk  organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan da’i sebagai unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa da’i bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur da’i dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka seorang dai memiliki kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan erilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah (da'i) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah, mau'dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.
Dakwah Islamiyah menuntut adanya kemampuan seorang dai untuk meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen, kebebasan-keterbatasan dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara implementatif mampu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya
Kompetensi mubaligh atau mubalighot adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan dan perilaku serta ketrampilan tertentu yang harus ada pada diri mereka agar mereka dapat melaksanakan fungsinya dengan memadai. Dengan demikian, kompetensi bagi seorang dai adalah suatu penggambaran ideal dan sekaligus sebagai target yang harus mereka penuhi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i meliputi kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif  berupa kondisi-kondisi mubaligh dalam dimensi idealnya atau kompetensi dasar bagi mubaligh atau da’i. Sedangkan kompetensi metodologis adalah sejumlah kemampuan yang dituntut ada pada diri seorang mubaligh atau mubalighot yang terkait dengan masalah perencanaan dan metodologi dakwah. Dengan ungkapan lain, kompetensi metodologis ialah kemampuan yang ada pada diri mubaligh sehingga ia: (a) mampu membuat perencanaan dakwah (persiapan kegiatan dakwah) yang akan dilakukan dengan baik, dan (b) sekaligus mampu melaksanakan perencanaan tersebut..
* Tarqum Aziz, S.H.I. adalah Alumni Program Studi Muamalah Jurusan Syari’ah dan Sekjend BEM Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto (2000-2001).


DAFTAR PUSTAKA
An-Nasafi, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Da’wah Islam (The Preacing of Islam). Cet. Kedua. Alih Bahasa A. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya.

Azhar, Muhammad. 2003. Beberapa Catatan tentang Problematika Dakwah”, Suara Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.

Faqih, Aunur Rahim. 2006. Esensi, Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.

Hasjmy, A. 1994. Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.

Hatch, Elvin. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.

Jasad, Usman. 2004.Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89, 1-15 Mei 2004.

KH. MA Sahal Mahfudz, “Dakwah Yang Partispatif”, http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/011.htm. Donwload pada tanggal 21 Maret 2009.

Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei. 2001. Pengembangan Masyarakat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mahmud, Ali Abdul Halim. 1992. Dakwah Fardhiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim. Jakarta: Gema Insani Press.

Muhyiddin, Asep. 2002. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Munir Mulkan, Abdul. 1996. Ideologisasi Gerakan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.

Puteh, Jakfar. 2006. Dakwah Tekstual dan Kontekstual. Yogyakarta: Group.

Shihab, Quraish. 1994.  Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.




Kontroversi Kepemimpinan Perempuan


KONTROVERSI KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz

A.    Latar Belakang Masalah

Permasalahan perempuan selalu menarik untuk dikaji oleh setiap insan yang memiliki kepedulian terhadap kedudukan perempuan itu sendiri. Sejarah perempuan adalah sebuah potret yang unik dan debatable. Dikatakan unik sebab di dalamnya terdapat unsur dan sisi yang tidak semuanya obyektif. Debatable karena perempuan dianggap sebagai makhluk yang menyimpan sejuta persoalan, baik proses penciptaan, kodrat, hak, peran serta kedudukannya dalam realitas kehidupan.
Status perempuan dalam Islam akan dapat dipahami secara benar apabila kita mengetahui status mereka pada zaman pra-Islam. Hal ini dilakukan dikarenakan, tidak ada revolusi, politik atau sosio-keagamaan yang dapat menghapus semau jejak masa lalu. Kontinuitas senantiasa ada dan inilah yang memelihara pertautan organis dengan masa lalu. Pemutusan ikatan secara total dengan masa lalu, meskipun diusahakan, tidak pernah berhasil. Berbagai perlakuan terhadap perempuan di masa lalu memang telah diperbarui dengan adanya revolusi Islam, namun kembali muncul di dalam syari'at Islam melalui praktek-praktek masyarakat Arab pra-Islam.
Sejarah perempuan Islam dan non Islam berada dalam satu bangunan yang integral dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya sebagai bangunan sejarah kemanusiaan perempuan. Jadi mustahil untuk memahami status perempuan saat itu tanpa ilmu pengetahuan yang memadai untuk memahami posisinya dalam sejarah. Ini adalah prinsip dasar penelitian sosial yang menuntut pemahaman beragam tahap perubahan (Qosim Amin, 2003: 27). Dengan kata lain, kita membutuhkan keakraban dalam membahas masalah sejarah perempuan.
Perempuan dengan segala problematikanya memiliki sejarah yang panjang dan berliku. Gambaran sejarah pra-Islam menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki-laki adalah grand narrative dan pusat sejarah. Sementara kedudukan perempuan adalah sebuah keadaan yang inferior. Laki-laki dipersepsikan sebagai makhluk publik dan perempuan seolah dianggap sebagai makhluk domestik.
Pada dasarnya kepemimpinan tidak membedakan siapa pelakunya, apakah dilakukan oleh laki-laki atau perempuan, Kedua-duanyan berlaku persyaratan yang sama untuk menjadi pemimpin yang baik. Namun karena dalam perjalanan sejarah perempuan kurang mendapat kesempatan untuk menjalankan kepemimpinan dalam masyarakat.
Luasnya wilayah historisitas agama itu menjadikan interpretasi agama sangat dipengaruhi oleh berbagai macam kepentingan, di mana para pemeluk agama itu berpijak. Jika teks suci agama jatuh kepada lingkungan masyarakat patriarkhis, maka sulit diingkari akan munculnya penafsiran yang bias pada kepentingan laki-laki. Dengan kata lain, kaum perempuan adalah pengabdi kaum laki-laki. Hal ini terjadi adanya kitab tafsir yang ditulis oleh mufassir laki-laki berkecenderungan bias laki-laki yang pada akhirnya merugikan kaum perempuan. Fenomena yang sama juga terjadi pada pemahaman terhadap hadis. Faktor tersebut telah menjadikan para pemerhati perempuan untuk mengkaji ulang hadis-hadis yang membahas perempuan.
Menurut kaum pembela perempuan, hadis-hadis tersebut masuk katagori hadis-hadis mysoginis, yaitu hadis-hadis yang membenci kaum perempuan. Nasib serupa juga menimpa pada studi Islam yang lain. Ini berarti bahwa laki-laki cenderung memproduksi hegemoni struktur jender dan seksualitas.
Stigma di ataslah yang kemudian melahirkan sebuah keyakinan dalam masyarakat bahwa laki-laki adalah manusia pertama dan perempuan adalah manusia kedua. Hal ini dikarenakan adanya hijab sebagai pembatas yang tegas antara laki-laki dan perempuan dalam dunia publik dan dunia domestik (Fatima Mernissi, 1997: 107-130). Pandangan seperti itulah yang telah membumi sehingga berakibat pada lahirnya asumsi bahwa perempuan tidak cakap memasuki dunia politik, terlebih lagi  jabatan kepala negara atau presiden dalam suatu negeri.
Diakui atau tidak, dehumanisasi terhadap kaum perempuan pernah terjadi sepanjang sejarah sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki yang semula setara dalam dunia politik telah berubah menjadi lahan pendeskreditan kaum perempuan sendiri melalui lembaga yang bernama tafsir dan fiqh. Salah satu alasan yang menjadi dasar penolakan tersebut adalah hadis yang berbunyi:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةًâ  رواه البخارى﴾
Tidak akan berjaya suatu kaum (bangsa) yang menyerahkan urusannya kepada perempuan (Al-Asqalani, 1996: 470).
Peneguhan pemahaman kebanyakan umat Islam tersebut pada akhirnya melahirkan stereotip peran jender, yaitu peran publik bagi laki-laki dan peran domestik bagi perempuan (Dadang S. Anshori, 1997: 3). Persepsi yang konservatif, eksklusif, intoleran, rigit, dan radikal tersebut harus segera dihentikan. Hal ini karena pemahaman tersebut bertentangan dengan spirit al-Qur`an yang selalu mengajak manusia untuk selalu berubah, progresif, tidak rigit, tidak statis dan humanis. Padahal sesungguhnya tidak ada otoritas siapa pun yang dapat mengklaim bahwa inilah satu-satunya tafsir yang paling benar. Hal ini karena truth claim boleh saja, tetapi harus tetap memiliki open truth claim bagi pendapat lain.

B.     Reposisi Peran Politik Perempuan

Hak perempuan di bidang politik, merupakan hak syar`i, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki.
Menurut Husein Muhammad (2004: 163-164), politik atau siyāsah secara sederhana diformulasikan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagian akhirat (tadbir al-syu’un al-‘ammah limashalihihim fi aal-ma’asy wa sa’adatihim fi al-ma’ad). Dengan begitu, politik adalah ruang maha luas, seluas kehidupan itu sendiri. Ia muncul  dalam ruang domestik maupun publik, ruang kultural maupun struktural, personal ataupun komunal. Namun seiring berjalannya waktu, politik seolah sekedar alat mencari kekuasaan bukan untuk kemakmuran rakyat.
Berbicara politik tidak akan lepas dari kata kepemimpinan atau leadership. Kepemimpinan dalam Islam sering disebut dengan imamah. Diskursus imamah lebih ramai dibicarakan banyak orang ketika sampai pada pembahasan imāmah kubra. Imamah tersebut seringkali menjadi topik utama dalam setiap diskusi, mulai lokal hingga internasional. Hal ini dikarenakan di dalammnya ada sesuatu hal yang menarik dikaji  jika dibandingkan dengan imamah shugra. Masalah khilafah[1] inilah sesuatu yang menarik tersebut.
Diskursus tentang imamah akan lebih seru lagi ketika dikaitkan dengan kepemimpinan politik perempuan. Inilah suatu wacana yang sekarang sedang popular dalam masyarakat Islam. Wacana tersebut sangat menarik untuk dikaji, terutama oleh para pemerhati perempuan. Segi-segi yang selama ini masih kontroversial terletak pada pemahaman baku yang dominan bahwa perempuan, berdasarkan telaah tekstual nas-nas al-Qur’an dan hadits  lebih banyak diposisikan sebagai second class setelah kaum laki-laki. Di samping itu, sejarah perempuan adalah sebuah sejarah kemanusian.
Wacana kepemimpinan perempuan dalam Islam selalu menarik untuk dikaji. Segi-segi yang selama ini masih kontroversial terletak pada pemahaman baku yang dominan bahwa perempuan berdasarkan telaah tekstual nas-nas al-Qur`an dan hadīs lebih banyak diposisikan sebagai manusia kelas dua setelah kaum laki-laki. Berbagai upaya memelihara ortodoksi dan tradisi ini banyak dilakukan, bahkan ayat-ayat yang secara netral menempatkan perempuan setara dengan laki-laki ditafsirkan sedemikian rupa sehingga kesaman kesetaraan jender ini lalu terhegemoni oleh pemahaman bahwa perempuan memang diciptakan untuk mengabdi kepada kaum laki-laki.
Menurut kelompok konservatif bahwa Islam membagi dunia peran itu menjadi dua bagian. Pertama, wilayah publik (al-wilāyah al-'āmmah) dan wilayah domestik (al-wilāyah al-khāssah).[2] Wilayah publik mencakup urusan-urusan sosial kemasyarakatan, seperti penyusunan undang-undang dan lain sebagainya. Wilayah ini menjadi kekuasaan kaum laki-laki, sedangkan wilayah domestik atau khusus meliputi tugas-tugas rumah tangga, mendidik anak dan sebagainya yang diberikan kepada kaum perempuan. Hal tersebut melekat karena secara historis sejak kelahirannya. Islam tidak pernah menyandarkan urusan politik ke pundak perempuan, apalagi untuk menduduki jabatan kepala negara atau presiden.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar pada tahun 1952, misalnya menyebutkan:
"Syari'at Islam melarang kaum perempuan mendudukijabatan-jabatan yang meliputi kekuasaan umum (publik). Yang dimaksud kekuasaan umum dalam fatwa di atas adalah as-Sultah al-Mulzimah (kekuasaan memutuskan atau memaksa)  dalam urusan-urusan kemasyarakatan (al-Jamā'ah), seperti kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan kehakiman (yudikatif) dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)".[3]

Berdasarkan keterangan di atas, sudah dapat diduga bagaimana pendapat ahli fiqh tentang posisi presiden perempuan. Sementara itu Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa syarat laki-laki menjadi seorang presiden merupakan ijma' para ulama fiqh. Ia juga menegaskan:
Tidak sah perempuan menduduki jabatan kepala negara (al-imāmah al-uzma) dan gubernur. Nabi S.a.w., Khulafāur Rāsyidīn dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan sebagai hakim dan gubernur (wilāyah al-balad).[4]

Sedangkan menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang dapat menduduki posisi tertinggi bila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.                  Memperoleh dukungan mayoritas.
2.                  Memenangkan dukungan.
3.                  Memiliki kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.[5]
Adanya larangan tentang kepemimpinan perempuan seperti di atas salah satunya mengacu pada hadīs Abū Bakrah yang berbunyi:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً[6]
Usmān ibn Haiśam memberitahukan kepada kami, ‘Auf menceritakan kepada kami dari Hasan dari Abū Bakrah, ia berkata: Sungguh Allah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku dengar dari Rasūlullāh S.a.w. saat perang Jamal setelah aku hampir saja bergabung dengan kelompok Jamal untuk berperang bersama mereka. Ia berkata: ketika sampai berita kepada Rasūlullāh S.a.w. bahwa bangsa Persia telah mengangkat puteri Kisrā menjadi ratu mereka, beliau bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang perempuan”.

Hadīs Abū Bakrah di atas diperkuat oleh statemen yang menyatakan bahwa perempuan diragukan dapat menjadi seorang pemimpin karena perempuan tidak terbiasa dengan kesiapan diri dalam segala situasi dan kondisi sebagaimana dinyatakan oleh al-Jazīrī yang menyebutkan:
الإ مام ذكرا ليتفرغ ويتمكن من مخالطة الرجال: فلا يصح ولاية امرأة، لماورد فى الصحيح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة. ولا يصح ولاية الخنثى[7]

Laki-laki agar selalu siap dan dapat bercampur dengan laki-laki, maka tidak sah kepemimpinan seorang perempuan. Sebab adanya keterangan dalam as-sunah bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang yang dipimpin oleh seorang perempuan dan tidak sah pula kepemimpinan seorang perempuan ”.

Menurut Asbāb al-wurūd hadīs tersebut bersifat kasuistik, yaitu berkaitan dengan pengangkatan putri Kisrā yang bernama Buran binti Syairawaih ibn Kisrā sebagai raja Persia. Namun kepemimpinannya tidak bertahan lama sebab dia dinilai tidak memilki kemampuan untuk memimpin negara. Dengan demikian latar belakang hadīś tersebut bersifat kasuistik dan kondisional. Fokus pembicaraan Nabi bukan seluruh perempuan, akan tetapi ditujukan terhadap putri Kisrā yang dinilai tidak memiliki kredibilitas dan kapabilitas sebagai pemimpin. Atau boleh jadi, statemen Nabi ini khusus pada saat itu, yaitu kemampuan perempuan dalam masalah kenegaraan belum memadai.[8]
Kehidupan umat Islam dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, termasuk dalam persoalan nilai yang dijadikan standar atau ukuran. Akibat dari perubahan ini, terutama era ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang, hampir segala sesuatu selalu dinilai dengan pertimbangan rasio atau akal. Oleh sebab itu, banyak produk hukum Islam, termasuk dalam hal politik kenegaraan tidak bisa diterima begitu saja, karena tidak sesuai dengan pertimbangan akal sehat. Salah satu contohnya adalah kepemimpinan politik perempuan. Hadīs  yang melarang kaum perempuan untuk dapat tampil di medan politik dipandang sudah tidak relevan lagi dengan perubahan struktur sosial, ekonomi dan teknologi.
Hadīs tentang kepemimpinan politik perempuan di atas dapat dikatakan bahwa kapasitas Nabi saat menyampaikan hadīś itu bukan dalam kapasitas sebagai Nabi atau Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa pendapat Nabi yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkapkan realitas sosial keberadaan masyarakat pada saat hadīs tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi di kemudian hari andai pemimpin itu diserahkan kepada perempuan yang secara sosial tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.
Dengan demikian hadīs tentang pernyataan Nabi dalam merespon berita pengangkatan putrid Kisrā sebagai raja Persia tersebut sama sekali tidak terkait dengan wacana persyaratan syar'i kepala Negara. Namun hanya merupakan informasi mengenai pendapat pribadi Nabi yang memberi peluang adanya dua kemungkinan. Pertama, boleh jadi sabda Nabi tersebut merupakan doa agar pemimpin negeri Persia itu tidak sukses dan jaya dikarenakan sikapnya menghina dan memusuhi Islam, sebagaimana sikap dan tindakan yang pernah beliau tunjukkan pula pada saat menerima mengabarkan kepada kami tentang dirobeknya surat Nabi oleh Kisrā Persia. Kedua, boleh jadi hal tersebut merupakan pendapat pribadi Nabi yang didasarkan pada fakta realitas tradisi masyarakat pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang perempuan untuk memimpin Negara, karena tidak mendapat legitimasi dan tidak dihormati oleh masyarakat jika dipercaya menjadi pemimpin mereka.[9]
Menurut Asghar Ali Engineer hadīs itu termasuk hadīs ahad karena diriwayatkan oleh segelintir sahabat dan tidak dikuatkan oleh riwayat lain. Hadīs ahad sifatnya tidak mengikat, oleh karenanya tidak perlu dijadikan landasan bertindak.[10] Engineer juga menegaskan bahwa hadīs tersebut tidak ada saat perang Jamal, namun mengapa Abū Bakra sebagai rawi tunggal baru mengingatnya saat perang Jamal.[11] Oleh karena itu perlu dikaji ulang lagi hadīs di atas.
Islam adalah agama rahmatan li al-‘ālamīn, sebuah agama di mana perempuan mewakili satu dari dua bagian kemanusian. Islam mengakui urgennya peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Oleh karena itu, perempuan telah diberikan hak politik yang mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat dan mulia dalam Islam.
Citra perempuan yang diidealkan oleh al-Qur`an adalah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlāl as-siyāsah) yang secara eksplisit menggambarkan perempuan yang menjabat kepala pemerintahan negeri Saba yang terilustrasikan dalam surat an-Naml (27) ayat 23.
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ âالنَّمل: 23     
Sesungguhnya menceritakan kepadaku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Ratu Bilqis penguasa Saba yang sah, bukan hanya berhasil mengentaskan rakyatnya dari kesengsaraan, melainkan juga membawa mereka kepada sebuah kehidupan yang makmur dan mencapai budaya yang tinggi dalam bidang sains dan seni. Di samping itu ia juga sebagai seorang yang arif dan bijaksana. Hal ini nampak ketika ia menerima surat dari Nabi Sulaimān, maka ia kumpulkan para pembesar untuk memusyawarahkan surat Sulaimān itu. Dengan demikian, pemerintahan kerajaan Bilqis bersifat demokratis, otoritas kepala Negara tidak hanya berada di tangan Bilqis sendiri, melainkan juga berada di tangan para penasehat.
Di sisi lain, al-Qur`an juga mengajak umatnya untuk mengembangkan sikap musyawarah sebagaimana dijelaskan dalam surat Asy-Syūra' (42): 38 yang berbunyi:
...وَاَمُرُهُمْ شُوْرى بَيْنَهُمْ  ...âالشُّورى: 38                           
Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.
Saling tukar pikiran adalah prinsip yang sangat esensi dalam Islam. Metodologi yang disusun oleh Islam untuk menciptakan sebuah bangsa yang berhasil dengan mengajak setiap anggota masyarakat untuk saling menasehati dan bermusyawarah satu sama lain. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan diajak untuk senantiasa bersama dalam menyampaikan pendapatnya masing-masing. Hak politik yang diberikan kepada perempuan dijamin oleh Islam sepanjang hak tersebut digunakan untuk kesejahteraan umat secara keseluruhan dan tidak menimbulkan kejahatan besar yang berakibat pada munculnya fitnah dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air.
Kaum perempuan juga mempunyai hak untuk berperan serta dalam kehidupan politik dan kehidupan sosialnya, perempuan berhak untuk berpartisipasi dalam memilih kepala negara dan pemimpin umat. Ia boleh berperan serta dalam aktivitas politik dan sosial sebagaimana partisipasi kaum laki-laki, perempuan juga boleh mengelola yayasan, organisasi dan partai. Ia juga tidak dilarang menempati kementerian, parlemen dan kursi politik yang lain. Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis.
Persoalan politik yang ada di dalamnya yang sangat urgen adalah kekuasaan sebagai nilai yang paling dominan. Hal ini menurut Subhan dikarena orang atau kelompok yang ingin mencapai kekuasaan mutlak setidaknya harus memenuhi ketentuan dan penguasaan atas ability (kemampuan), capacity (kecakapan), fakulty (kesanggupan) dan skill (ketrampilan). [12] Oleh karena itu, pada dataran praktis, kaum perempuan memiliki hak untuk memainkan peran politik apapun, di mana kemampuan, keahlian, dan karakteristik mereka berbeda antara yang satu dengan yang lain. Diferensiasi ini yang menyebabkan sebagian perempuan ada yang bisa memainkan peran politik tertentu. Sementara sebagian yang lain belum maksimal menjalankannya.
Kemandirian perempuan, mengharuskannya tampil sebagai perempuan dengan bargaining position yang strategis. Oleh karena itu kemandiriannya tidak boleh lebur sehingga menjadikannya sebagai laki-laki, dan tidak juga menjadikannya harus pasrah atau mengalah dengan mengorbankan kepentingannya sebagai perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki. 
Suasana seperti itulah yang membuat laki-laki dan perempuan dapat bekerja secara simultan dalam rangka membangun sebuah peradaban. Kemesraan keduanya ilustrasikan oleh Safia Iqbal sebagai berikut:
Men and women aare equal in such an arrangement and there is no question of one being inferior to the other. In fact, role and relationship to words by the Qur’an when it terms them asattirefor each other an attire which shields, conceals, protects, beatifies, cushions. Further, men and women have equal rights over each other, these rights being balanced by equal duties.[13] 

Laki-laki dan perempuan adalah sederajat/setara dalam beberapa hal dan tidak ada yang menanyakan tentang seseorang yang derajatnya lebih rendah (inferior) dari yang lain. Pada kenyataannya, peran dan hubungan menjadi mesra yang diekspresikan al-Qur’an, di mana al-Qur’an mengibaratkan mereka laksana hiasan untuk masing-masing yang lain. Sebuah hiasan mencakup penadah/tameng, rahasia, perlindungan, keindahan. Selanjutnya laki-laki dan perempuan  diberi hak yang setara/sama, hak ini menjadi seimbang dengan tugas yang sama.

Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki- untuk menjalani peran-peran politik domestik maupun publik, untuk menjadi cerdas dan terampil. Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran ini bersama kaum laki-laki.
‘Āisyah binti Abū Bakar dan Ummu Salamah binti Ya’qūb, keduanya adalah isteri Nabi Muhammad Saw. Mereka adalah perempuan-perempuan yang memiliki peranan penting dalam kancah politik ketika itu. ‘Āisyah  sendiri memimpin langsung peperangan melawan ‘Ali ibn Abū Tālib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara (perang jamal), sedangkan Ummu Salamah adalah penasehat Nabi dalam bidang politik yang cerdas (perjanjian Hudaibiyyah) yang sering bertindak sebagai komando bagi kaum perempuan dan juga Nusaibah binti Ka’ab, seorang perempuan yang berhasil melindungi Nabi Saw. dari serangan musuh saat perang Badar.[14] Selain itu masing ada nama Fātimah binti Muhammad (anak Nabi dan Isteri ‘Ali ibn Abū Tālib), ‘Ātikah binti Yazīd ibn Mu’āwiyah, al-Khaizeran binti ‘Ātak, Ummu Sīnan al-Aslāmiyah, Safīyah, Lailā al-Ghaffariyah yang tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Hindun binti Yazīd al-Ansāriyah, Zaiqā binti ‘Ali ibn Qais, Ummu Khair al-Baiqiyah dan Ikhrisyah binti al-Atrus adalah perempuan-perempuan yang telah membantu ‘Ali ibn Abū Tālib dalam peperangan melawan Mu’āwiyyah.
Perempuan dan laki-laki memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Sally Hegelsen memberikan pernyataan bahwa perempuan akan mencapai gaya tansformasional jika mengenali sumber-sumber kekuatan dirinya dengan cara menggali dan memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan mengubah treaths menjadi opportunity. Chua bahkan menyatakan bahwa women way attention to small things from beginning to ensure a projects success.[15] Melalui paradigma ini, penulis dapat katakan bahwa kepemimpinan seseorang diukur dari bagaimana ia mampu menghegemoni masa. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang mampu mencari jalan untuk membuat segalanya menjadi sebuah kenyataan. Laki-laki dan perempuan dapat meraihnya jika di antara keduanya memiliki manajerial leadership yang baik dan mumpuni. Jadi kepemimpinan transformasional adalah menunjukkan kemampuan pemimpin perempuan dalam mentransformasikan minat orang lain ke dalam cita-cita. Sementara laki-laki memakai gaya kepemimpinan transaksional yang memandang performa pekerjaan sebagai serangkaian transaksi, ganjaran atau penghargaan bagi yang memiliki performa baik atau pelayanan yang buruk. Di samping pendekatan sosio-teologis yang digunakan untuk mneghasilkan sebuah pembacaan yang produktif (al-qirāah al-muntijah) bukan pembacaan yang yang diskriminatif.

C.    Kesimpulan

Pada hakikatnya, politik adalah power (keuasaan) dan pengambilan keputusannya dimulai dari institusi keluarga sampai institusi politik formal tertinggi. Oleh karena itu, pengertian politik pada prinsipnya juga meliputi masalah-masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang realitasnya selalu melibatkan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kancah politik bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkan, menurunkan atau merebut kekuasaan dari laki-laki, melainkan supaya dapat menjadi kitra sejajar laki-laki.
Berangkat dari perspektif di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak hanya laki-laki yang memiliki nalar kritis untuk membahas dan menilai berbagai macam permasalahan, tetapi perempuan pun memilikinya. Oleh karena itu diperlukan suatu keberanian untuk bersikap dan berperilaku berdasarkan keyakinan bahwa perempuan juga makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mempunyai kebutuhan bertanya serta memperoleh jawaban tanpa merendahkan eksistensinya sebagai sesama manusia.
Melalui paradigma semacam itu, maka akan gugurlah mitos yang secara umum berlaku dan dianut baik oleh laki-laki maupun perempuan sendiri, yaitu mitos tentang inferioritas perempuan sebagai manusia emosional dan superioritas laki-laki sebagai manusia rasional. Oleh karena itu tidak ada yang lebih superior dari yang lain. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara, karena sama-sama berasal dari sumber yang sama. Jadi antara keduanya tidak ada bedanya dalam hakikat kemanusiannya. Oleh karena itu, hal inilah yang hendaknya dijadikan landasan berpikir dalam memandang eksistensi manusia, baik laki-anak laki-laki maupun perempuan. Al-Qur'an secara jelas dan tegas begitu positif memandang kaum perempuan, namun mengapa kita harus masih mempersoalkannya.
* Tarqum Aziz, S.H.I. adalah Alumni Program Studi Muamalah Jurusan Syari’ah dan Mantan Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAIN Purwokerto (2001-2002) serta Ketua Umum Pimpinan Cabang Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Kotif Purwokerto (1998-2000).



DAFTAR PUSTAKA

al-‘Asqalānī, Al-Hāfiz Syihābuddīn Abū al-Fadl Ahmad ibn ‘Alī ibn Hajar. 1996. Fathul Barī bi Syarh Sahīh al-Bukhārī. Juz VIII. Beirūt: Dār al-Fikr.

al-Bukhārī, Al-Imām Abū 'Abdullāh Muhammad ibn Ismā'īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah ibn Bazdiyah al-Ju’fī. t.t. Sahīh al-Bukhārī. Juz V & VIII. Beirūt: Dār al-Fikr.

Ali, Nizar. 2003. “Kepemimpiann Perempuan Dalam Dunia Politik”. dalam Hamim Ilyas. dkk. Perempuan Tertindas: Kajian Hadits-hadits Misoginis. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga..

al-Jazīrī, 'Abdurrahmān. t.t.   al-Fiqh ‘ala al-Mazāhib al-Arba’ah. Juz V. Beirūt: Dār al-Fikr.

Amīn, Qāsim. 2003. Menggugat Perempuan. Yogyakarta: IRCiSoD.

Anshori, Dadang S. 1997. “Dari Feminis hingga Feminim: Potret Perempuan di Dunia Maskulin”. dalam Dadang S. Anshori, et. al. (ed), Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.

Arif, 'Abdul Salam. 2001. “Reinterpretasi al-Nas dan Bias Gender dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal   Asy-Syir’ah. Vol. 35. No.II. 2001.

az-Zuhaili, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh. Juz VIII. Beirūt: Dār al-Fikr.

Bhasin, Kamla. 1996. Menggigat Patriarkhi. Yogyakarta: Bentang.

Echols, John M. dan Hasan Shadily. 1987. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Engineer, Asghar Ali. 2000. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Cet. II. Yogyakarta: LSPPA.2000.

Hasyim, Syafiq. 2001. Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. Bandung: Mizan.

Jindan, Khālid Ibrāhīm. 1999. Teeori Politik Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Lihat Majalah Rindang, No. 3. TH. XXVIII. Oktober,. 2002, hal. 39.

Mernissi, Fatima . 1994. Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan. Bandung: Pustaka.
_____________. 1997. Peran Perempuan dalam Politik. Surabaya: Dunia Ilmu.

Muhammad, Husein. 2002. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Cet. II, Yogyakarta: LKiS.

________________. 2004. Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKiS.

Safia Iqbal. 2000. Women and Islamic Law. New Delhi: Shah Offset Printer.

Shafiyyah, Amanatullah dan Haryati Soeripno. 2003. Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasi. Jakarta: Gema Insani Press.

Subhan, Zaitunah. 2004. Perempuan dan Politik dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender. Cet. II. Jakarta: Paramadina.



[1]Kepemimpinan Islam dalam perspektif politik sudah tercermin dalam sejarah Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya 15 ratu-ratu Islam, di antaranya Sultanah Syajarat al-Durr dari dinasti Mamalik. Lihat Fatima Mernissi, The Forgetten Queens of Islam, Alih Bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 140-176.
[2]Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 191.   
[3]Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Cet. II, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 141.   
[4]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, Juz VIII, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1989), hal. 6179.   
[5]Khālid Ibrāhīm Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taymiyah, Alih Bahasa Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hal. 100.   
[6]Al-Imām Abū 'Abdullāh Muhammad ibn Ismā'īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mugīrah ibn Bazdiyah al-Bukhārī al-Ju’fī, Sahīh al-Bukhārī, Juz V, Kitāb Magāzi, Bāb Kitāb an-Nabiyy S.a.w. ilā Kisrā wa Qaisar, (Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), hal. 136. lihat pula kitab fitan
[7] 'Abdurrahmān al-Jazīrī,  al-Fiqh ‘ala al-Mazāhib al-Arba’ah, Juz V, (Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), hal. 416.
[8]'Abdul Salam Arif, “Reinterpretasi al-Nas dan Bias Gender dalam Hukum Islam”, dalam Jurnal   Asy-Syir’ah Vol. 35. No.II. 2001, hal. 38.
[9]Nizar Ali, "Kepemimpiann Perempuan Dalam Dunia Politik", dalam Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas: Kajian Hadits-hadits Misoginis, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 299.
[10]Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cet. II, Alih Bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf,  (Yogyakarta: LSPPA, 2000)., hal. 118.
[11]Ibid.
[12]Zaitunah Subhan, Perempuan dan Politik dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), hal. 40.
[13]Safia Iqbal, Women and Islamic Law, (New Delhi: Shah Offset Printer,  2000), hal. 15.  
[14]Amanatullah Shafiyyah dan Haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implementasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 32-34.  
[15]Lihat Majalah Rindang, No. 3, TH. XXVIII, Oktober, 2002, hal. 39.